​Menjelang tutup tahun 2017, dunia buruh kembali berkabung. Seorang buruh PT Embee Plumbon Textile di Cirebon meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan kerja. Kejadian ini merupakan catatan kelam buruh Indonesia. Kejadian ini bukanbaru kali ini saja terjadi dan bukan hanya terjadi di Cirebon saja.

Sebelumnya beberapa bulan yang lalu terjadi kebakaran hebat melanda sebuah pabrik petasan di Tangerang yang menewaskan 48 orang pekerja dan meluka ilebih dari 45 orang pekerjanya. Kejadian serupa 2 tahun ke belakang, 28 orang pekerja tewas dalam sebuah ledakan di PT. Mandom, Bekasi.

Sebuah fenomena yang mencerminkan buruknya pengawasan ketenagakerjaan. Bukan hanya sebatas pengawasan tetapi juga rendahnya kesadaran akan arti penting Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Salah satu peraturan yang mengatur hal tersebut adalah UU No 1/1970 tentang Keselamatan Kerja sepertinya sudah kadaluarsa karena sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang.  Sanksi  yang diberikan kepada perusahaan yang melanggar K3 sangat ringan, dengan denda hanya Rp. 100 ribu dan ancaman penjara 3 bulan saja.

Namun, berapa pun banyak undang-undang, peraturan tinggalah peraturan. Meskipun sudah jelas perundang-undangan yang mengatur hal tersebut tetap saja terjadi pelanggaran. Contoh kasus salah satu perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya kelembaga sosial tenagakerja. Sekalipun di daftarkan, iuran wajibnya tidak dibayarkan. Mereka tidak pernah mengerti betapa pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja. Padahal, penciptaan keselamatan dan kesehatan kerja dalam lingkungan perusahaan akan berdampak pada kualitas para pekerjanya.

Baca juga:  BURUH DAN MAHASISWA KEPUNG KANTOR GUBERNUR BANTEN

Dengan memiliki pekerja yang  sehat secara jasmani (karena tidak berpenyakit) danrohani (karena rasa aman  dan nyaman dalam bekerja) maka pekerja akan bekerja secara optimal. Bandingkan dengan perusahan yang kurang memperhatikan hal tersebut.

Selain berdampak pada rendahnya kualitas pekerja juga menurunnya loyalitas pekerjanya. Sebab buruknya kulitas kesehatan pekerja mempengaruhi kemampuan bekerja. Salah satunya diindikasikan dengan tingginya angka absensi kerja karena pekerja yang sakit. Oleh karena itu, bagi sebuah perusahaan diwajibkan untuk memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja para pekerjanya, bukan sekadar untuk mematuhi undang-undang dan peraturan lainnya melainkan demi kepentingan perusahaan itu sendiri.

Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja masih dianggap sebagai masalah sepele dan bukan bagian yang harus diprioritaskan dalam dunia industri di Indonesia. Sebagian pengusaha menganggap bahwa kewajiban memperhatikan masalah K3 ini sebagai hal yang kontraproduktif dalam proses  pencarian laba perusahaan.

Baca juga:  PERINGATI MAY DAY 2020, DPC SPN KABUPATEN LEBAK BANTU ANGGOTA YANG TERDAMPAK COVID - 19

Buruknya pengelolaan K3 di lingkungan perusahaan berdampak terhadap semua pihak. Bagi perusahaan menimbulkan rendahnya produktivitas, kerugian materil dan non materil ketika terjadi sebuah insiden kecelakaan kerja , stigma negatif terhadap perusahaan yang akhirnya berdampak terhadap order perusahaan. Sedangkan bagi pekerja akan dihantui rasa tidak aman dan nyaman dalam bekerja, kerugian secara jasmani dan rohani  ketika terjadi insiden kecelakaan kerja dan dampak timbulnya penyakit dari proses produksi saat bekerja.

Saling membutuhkan baik secara hukum ekonomi maupun hukum sosial, perlu adanya sinergi semua pihak. Peran pemerintah sebagai otoritas kekuasaan dalam melindungi rakyatnya (dalam hal ini pekerja),  meningkatkan kesadaran kalangan industri (dalam hal ini pengusaha dan pekerja) tentang arti penting K3. Bagi pengusaha, perlu ditanamkan bahwa masalah K3 adalah sebuah investasi jangka panjang demi meningkatnya kinerja perusahaan.

Dan terakhir mengembangkan peran media massa/media sosial sebagai pihak yang berfungsi sebagai kontrol sosial dalam menyikapi masalah K3.

Dede Hermawan, Jakarta 2/Editor