Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, sudah menjadi suatu kebiasaan yang mungkin juga menjadi suatu kebiasaan yang buruk, ketika setiap tahun pekerja/buruh harus selalu berunjuk rasa dalam rangka menuntut kenaikan upah minimum. Pekerja/buruh dalam hal ini serikat pekerja/serikat buruh harus selalu berunjuk rasa untuk menuntut agar pengusaha dan pemerintah untuk menaikan upah walaupun hanya sekedar upah minimum, padahal menurut konstitusi negara ini yang sampai saat ini masih berlaku yaitu UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak.

 

Upah minimum yang sering disebut sebagai jaring pengaman bagi kehidupan buruh itu pun dalam pengertian spesifik buruh yang lajang. Pada dasarnya pengusaha memperoleh keuntungan berlipat dari mempekerjakan buruh, karena pengusaha hanya membayar berdasarkan kemampuan buruh berproduksi. Upah bukan lagi menjadi legitimasi legal atas hubungan industrial, bukan lagi semata-mata penghargaan atas nilai kerja seorang manusia yang beradab, melainkan menjadi ukuran dari daya tahan hidup seseorang terhadap harga kebutuhan pokok.

 

Apabila upah tidak lagi sesuai dengan beban kerja, maka buruh tidak otomatis bisa menyampaikan aspirasi kenaikan upah. Seringkali buruh berharap kepada kebaikan hati pengusaha dalam mencukupi kebutuhannya karena takut untuk menyampaikan aspirasinya. Bila pengusaha “tidak berkenan” dengan aspirasi kenaikan upah dengan alasan ongkos produksi yang tinggi dan persaingan bisnis yang ketat, maka buruhlah yang harus menyesuaikan dengan keadaan perusahaan.

 

Dengan upah minimum berapa sisa uang yang dibawa oleh buruh untuk keluarganya?, pendidikan dan gizi seperti apa yang bisa diberikan kepada anak-anak buruh?, kalau pun buruh harus giat mencari tambahan penghasilan, kapan dan berapa banyak waktu yang harus mereka sisihkan? Waktu produktif mereka habis di pabrik dan kantor hanya untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu saja dan tidak punya waktu untuk mengembangkan diri. Usia mereka menua tanpa peningkatan keterampilan dan pengetahuan yang memadai, lalu dengan cara bagaimana mereka menaikan penghasilan untuk memperbaiki kualitas hidup?.

Baca juga:  KUNJUNGAN KOMITE NASIONAL PROTOKOL FOA KE KAWASAN INDUSTRI PT NIKOMAS GEMILANG

 

Buruh tidak punya kreativitas karena setiap hari hanya melakukan pekerjaan yang itu-itu saja/monoton. Bila mereka dialihkan untuk mengerjakan pekerjaan lain itu karena kejelian bos dalam melihat potensi pegawainya dan hal ini tidak berbanding lurus dengan penghasilan yang akan diterimanya. Tidak ada penghargaan dan apresiasi, majikan akan berkata bahwa pekerjaan yang banyak itu merupakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas buruh yang bersangkutan. Kata majikan “jika anda bekerja lebih cepat dari pada karyawan lainnya, maka beban kerja anda sebenarnya memang masih kurang. Jika anda tidak bekerja dengan cepat berarti anda tidak rajin”. Majikan tidak pernah mengungkapkan fakta bahwa perusahaan telah menghemat biaya tenaga kerja baru sehingga keuntungan perusahaan berlipat ganda.

 

Dengan fleksibilitas kerja, motivasi buruh untuk berkarya sirna. Pikiran penuh dengan problem dapur, pendidikan anak dan kesehatan sehari-hari. Hati tidak tenang karena selalu dihantui oleh tuntutan target produksi. Akibatnya mental buruh rusak, buruh bekerja seperti pegawai negeri, datang ke kantor sekedar memenuhi kewajiban agar gajinya tidak dipotong. Bagaimana dengan pengusaha? Kapital mereka demikian cepat berkembang, bunga berbunga. Kenaikan BBM mereka siasati dengan kenaikan harga jual produk. Kenaikan UMK mereka siasati dengan memberikan beban tambahan kepada pekerjanya sehingga kenaikan upah tertutupi dengan peningkatan produksi di luar pekerjaan utama dengan premi murah. Apabila dirasakan masih berat, mereka sudah siap mem PHK atau memindahkan pabrik ke lokasi lain/Relokasi.

Baca juga:  HAKIM PUTUSKAN TIDAK BAYAR DENDA, JAKSA PENUNTUT UMUM NAIK BANDING

 

Bila pengusaha tidak membutuhkan buruh lagi, buruh dipersilahkan pindah kerja ke tempat lain. Managemen perusahaan akan berkata “kami hanya mampu membayar sebesar itu, bila tidak setuju, anda dapat mencari pekerjaan di tempat lain yang lebih menjanjikan”. Bila aktivitas buruh mengganggu perusahaan maka managemen tidak segan-segan untuk mem PHK atau memutasi buruh ke tempat lain agar tidak betah dan akhirnya mengundurkan diri. Perusahaan tidak perlu membayar pesangon dan banyak buruh yang tidak berani untuk mengambil resiko untuk keluar dari pekerjaannya. Semakin besar tekanan perusahaan maka buruh akan semakin takut. Buruh ingin protes tetapi mereka membutuhkan solusi rill agar dapurnya tetap ngebul. Lihatlah nasib rill buruh yang dipecat managemen, apakah yang dapat diperbuat buruh? Uang simpati/duka mungkin akan diberikan oleh rekan sekerjanya pada bulan-bulan pertama, tetapi solidaritas itu tidak akan berlangsung lama. Buruh sudah sulit untuk memenuhi kebutuhannya apalagi harus memberi donasi kepada rekan-rekannya.

 

Kebijakan Upah Minimum adalah kebijakan yang sama sekali tidak berpihak kepada buruh apalagi sekarang ini semakin diperparah dengan PP No 36/2021 yang telah menghilangkan filosofi dari penyesuain upah itu sendiri dengan menghilangkan KHL sebagai dasar penyesuaian upah. Apakah kehidupan buruh akan semakin terpuruk dan hanya pasrah menerima nasib? Ataukah akan terus melakukan perlawanan agar kehidupan buruh membaik di masa depan ?, pertanyaan ini haruslah dijawab oleh semua elemen buruh dengan tindakan nyata bukan hanya retorika belaka.

 

SN 09/Editor