Dalam PP No 78/2015 pemerintah menetapkan rumus yang terbilang sederhana dalam menetapkan persentase kenaikan upah minimum, yakni upah minimum baru = upah minium saat ini X (persentase inflasi dan persentase pertumbuhan ekonomi)

(SPN News) Jakarta, Periode September-November memang menjadi waktu yang riuh bagi dunia perburuhan. Saat itu, masing-masing pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota sedang menggodok dan kemudian menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) ataupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) terbaru yang berlaku tahun depan.

Seperti diketahui bahwa pembahasan nilai UMP/UMK tersebut untuk saat ini hanya menjadi ritual rutin saja. Karena semua menjadi tidak ada artinya, ketika dasar penetapan akhirnya dimonopoli oleh PP No 78/2015. Dengan mengacu rumus dari PP No 78/2015 tersebut pemerintah menaikkan UMP sebesar 8,03 persen pada 2019. Angka ini terbilang cukup rendah jika dibandingkan permintaan dari buruh sebesar 20-25 persen, di mana unsur buruh menggunakan skema lama mengacu pada UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam UU itu, penetapan UMP didasarkan rekomendasi dari dewan pengupahan yang sebelumnya telah melakukan survei KHL, di mana komponen yang dilihat antara lain kenaikan harga barang, produktivitas buruh dan pertumbuhan ekonomi.

Baca juga:  RAPAT KERJA DPR DENGAN MENKES BELUM PECAHKAN MASALAH IURAN KELAS III BPJS KESEHATAN

Bagi kepentingan pemerintah pusat, PP No 78/2015 memang menguntungkan karena cenderung memberikan kepastian. Namun, bagi buruh di daerah yang berbeda, justru ada yang diuntungkan, dan sebaliknya. Hal itu dikarenakan rumus angka yang dipakai PP No 78/2015 sifatnya nasional, bukan regional dari kondisi inflasi dan pertumbuhan ekonomi lokal. Apabila inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang dipakai adalah angka regional, maka ada beberapa provinsi yang diuntungkan dan sebaliknya.

DKI Jakarta misalnya, angka inflasi tercatat 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi 6,06 persen. Dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi regional itu, UMP DKI Jakarta seharusnya naik 8,94 persen pada tahun depan, lebih tinggi dari kenaikan UMP nasional sebesar 8,03 persen. Bisa dibilang, buruh Jakarta agak sedikit dirugikan. Buruh di Jayapura juga dirugikan. Inflasi di Jayapura tercatat 4,8 persen dan pertumbuhan ekonominya sebesar 14,85 persen. Jika di total, maka kenaikan UMP di Jayapura pada 2019 seharusnya mencapai 19,65 persen.

Baca juga:  DAMPAK PENARIKAN NIKE APPAREL DARI INDONESIA, ANGGOTA SPN MENJADI KORBAN

Dari dua kota itu, bisa dikatakan buruhlah yang terlihat dirugikan. Sebaliknya, pelaku usaha justru diuntungkan, terutama di Jayapura lantaran perbedaannya bisa sampai dua kali lipat ketimbang kenaikan UMP nasional. Namun, ada juga kota-kota yang justru diuntungkan dari PP No 78/2015 itu. Kota Mataram di Nusa Tenggara Barat misalnya. Angka inflasi dan pertumbuhan ekonominya tercatat sebesar 3,09 persen dan 1,02 persen, sehingga total sebesar 4,11 persen. Dengan kata lain, kenaikan UMP nasional menjadi kabar baik bagi para buruh di Kota Mataram. Sebaliknya, kenaikan UMP menjadi kabar buruk bagi para pelaku usaha di Kota Mataram.

Hal ini yang membuat saya mengkritik PP No 78/2015 . Sudah tahu ini terkait upah buruh provinsi, ya harusnya pakai komponen yang sifatnya regional. kata Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).

Menurut Enny, perhitungan kenaikan UMP menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional seharusnya dibuat secara proporsional. Tentunya, rumus yang digunakan juga harus sifatnya regional.

Dede Hermawan (sebagian dikutip.di tirto.id)/Editor