Masalah tunjangan korban PHK sampai saat ini masih tarik ulur terutama soal pembiayaan antara pemerintah dengan pengusaha
(SPN News) Jakarta, saat ini Tunjangan Korban PHK sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri masih sedang dikaji. Dan masih ada tarik ulur masalah pembiayaan antara pemerintah dengan pengusaha terkait dengan pembiayaannya. Ada sejumlah pimpinan buruh yang mendorong penggunaan dana imbal hasil Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan untuk tunjangan korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Dorongan ini muncul untuk mempercepat terlaksananya kebijakan tunjangan korban PHK. Pasalnya, sumber dana tunjangan PHK saat ini masih tarik-menarik antara pemerintah dan pengusaha.
“Susah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) defisit, pengusaha merasa sudah banyak membayar sehingga labor cost besar, ini membuat agak lama,” ujar Timbul Siregar (18/11).
Pemerintah dan pengusaha dalam kondisi ideal berkewajiban membantu dana jaminan PHK. Negara melalui APBN, sedangkan pengusaha melalui potongan tiap bulan. Terdapat aturan pengusaha untuk menyiapkan dana jaminan PHK. Pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 24 pengusaha diwajibkan mengalokasikan dana sebesar 8,3% untuk tunjangan PHK. Meski begitu, Timbul yakin dana BPJS Ketenagakerjaan cukup untuk memberikan jaminan. “Ini bisa saja dilakukan pertama kali dengan mengambil imbal hasil dari Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM),” terang Timbul.
Ia bilang dari total dana JKK Rp 23 triliun menghasilkan sekitar Rp 2,2 triliun untuk imbal hasil. Sedangkan dari JKM terdapat dana Rp 9 triliun yang bisa menghasilkan sekitar Rp 800 miliar. Jaminan PHK nantinya akan dibagi menjadi dua hal. Pertama adalah Unemployed Benefit (UB) yang memberikan uang untuk kebutuhan hidup, serta Skill Development Fund (SDF) yang mengembangkan kemampuan korban PHK.
Asal tahu saja, saat ini Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah melakukan kajian terhadap hal itu. Tulus bilang, jaminan PHK terdapat pada konvensi International Labour Organization (ILO) nomor 102 yang belum diratifikasi pemerintah Indonesia.
Sementara Ketua Bidang Advokasi DPP SPN Djoko Heriono mengatakan “tunjangan pemutusan hubungan kerja itu ada untuk menunjang seseorang yang kehilangan pekerjaannya, maka saat ini dikenal dengan pesangon, jasa masa kerja, JHT pensiun. Yang sistem dan mekanismenya masih fakultatif maka terkait ide tunjangan PHK diatas adaoah suatu hal yang mengada-ada”.
Djoko Heriono menambahkan”kita lihat saja contohnya Jaminan Kesehatan yang dana jaminan kesehatan APBN 5 %, APBD 10 saja realisasinya buruh nggak menikmati dan masih harus membayar 1%. Oleh karena itu ada dugaan tunjangan tersebut adalah sebagai suatu muslihat untuk menghapus pesangon sebagaimana yang diatur dalam pasal 156 UU Ketenagakerjaan”.
Shanto dari berbagai sumber/Editor