Sutini TKI asal Banjarnegara diduga menjadi korban praktik perdagangan orang
(SPN News) Banjarnegara, Buruh migran asal Kabupaten Banjarnegara bernama Sutini Tri Hefisi (37) diduga mengalami tindakan tak manusiawi dari majikannya di Singapura. Dia dilarang berkomunikasi dengan keluarga, dibuat kelaparan, tidak mendapat gaji sampai akhirnya sakit dan dipulangkan ke Indonesia oleh majikannya pada Sabtu (27/10) lalu.
Tiba di kediamannya di Kabupaten Banjarnegara, kondisi kesehatan Sutini memburuk. Ia sempat dirawat di Rumah Sakit Emanuel Banjarnegara sejak tanggal 30 Oktober. Pada 4/12/2018 lalu Sutini meninggal dunia. Kematian Sutini dan nestapa yang ia alami selama bekerja di Singapura, menurut LBH SIKAP Banyumas selaku tim kuasa hukum dari alm Sutini terkait praktik perdagangan orang. Akibatnya, Sutini mendapat perlakuan sewenang-wenang dari majikannya.
Juru bicara LBH Sikap Banyumas, Bangkit Adhi mengatakan, terdapat beberapa pelanggaran hukum dalam kasus Sutini. Ia merinci, tidak dipenuhinya hak atas jaminan sosial/BPJS sebagai syarat utama dalam penempatan pekerja migran ke luar negeri. Lalu kepulangan Sutini yang tiba-tiba dan tidak diketahui keluarga, bahkan dalam kondisi sakit. Terkait pula penahanan dokumen milik Sutini oleh calo atau broker. Dokumen dimaksud berupa KTP, ijazah, akta cerai, dan salinan dokumen perjanjian kerja.
Ada pula pelanggaran hukum terhadap hak-hak keluarga alm Sutini yakni keluarga tidak diberitahu tentang keadaan dan kepulangan Sutini dan tidak adanya kesempatan keluarga untuk berkomunikasi dengan Sutini saat bekerja di Singapura. Sedang pelanggaran kelima berupa tindak pidana perdagangan orang (TPPO) karena perekrutan Sutini sebagai pekerja migran dilakukan perorangan, bukan oleh perusahaan resmi.
“Penempatan Sutini di Singapura juga tidak sesuai prosedur karena syarat penempatan seperti BPJS tidak dipenuhi. Terdapat juga eksploitasi karena Sutini tidak mendapatkan upah yang layak. Bahkan tidak ada penampungan saat Sutini sampai di Singapura, terdapat penelantaran hingga 2 hari,” kata Bangkit Adhi, (16/12)
Atas dugaan pelanggaran-pelanggaran tersebut LBH Sikap Banyumas melakukan langkah advokasi awal berupa pelaporan kepada pihak kepolisian Resort Banjarnegara pada (14/12) atas terjadinya dugaan tindak pidana terhadap kasus Sutini. Setelah itu, akan dilakukan pula langkah advokasi seperti membuat laporan aduan kepada badan/instansi pemerintah terkait atas permasalahan yang dihadapi oleh Sutini dan keluarga.
Adik ipar Sutini, Tino pada (13/11) lalu sempat bercerita bahwa Sutini di Singapura bekerja menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Ia meneken perjanjian kerja selama 2 tahun. Tapi, baru bekerja selama 6 bulan, Sutini tiba-tiba dipulangkan ke Indonesia oleh majikannya.
“Kakak saya tidak membawa dokumen apapun kecuali paspor. Ia ke keluarga sempat mengatakan KTP-nya ditahan. Sutini pulang hanya membawa uang sebesar Rp 185.000 untuk bayar ojeg dari Banyumas Rp 160.000. Ada memang sejumlah uang dollar Singapura, apabila di rupiahkan Rp 2.400.000,” urai Tino.
Keluarga Sutini juga mengalami kendala biaya pengobatan saat Sutini dirawat di rumah sakit. Pihak agensi yang memberangkatkan Sutini sempat bermusyawarah dan menyetujui untuk menanggung biaya rumah sakit sebesar Rp 30 juta rupiah. Namun tak bisa seluruhnya. Keluarga harus menanggung sendiri biaya pengobatan di rumah sakit.
“Total biaya pengobatan Rp 50 juta. Kami kekurangan biaya Rp 20 juta. Pihak agensi menyodorkan secarik surat pernyataan untuk ditandatangani oleh keluarga. Inti dari surat tersebut menyebutkan bahwa keluarga sewaktu-waktu tidak akan menuntut pihak agensi,” ujar Tino.
Shanto dikutip dari berbagai sumber/Editor