Ilustrasi

Pemerintah akhirnya memulai program pengungkapan sukarela (PPS) atau yang lebih dikenal dengan tax amnesty (pengampunan pajak) jilid II mulai 1 Januari 2022

(SPNEWS) Jakarta, Pemerintah akhirnya memulai program pengungkapan sukarela (PPS) atau yang lebih dikenal dengan tax amnesty (pengampunan pajak) jilid II mulai hari ini, Sabtu (1/1/2022).

Program ini berlangsung selama 6 bulan sampai tanggal 30 Juni 2022. Pengungkapan harta dilakukan secara online melalui laman website yang sudah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyarankan wajib pajak yang belum mengungkapkan harta perolehan dalam SPT Tahunan sebaiknya memanfaatkan momen ini. Sebab, ada sanksi yang mengintai dengan tarif lebih besar, yakni 200 persen, bila kedapatan mengemplang pajak.

“Jadi mendingan daripada hidupnya enggak berkah, sudah lah ikut saja. Daripada enggak berkah dan kemungkinan (kena sanksi) 200 persen, mendingan ikut saja. Sudah diberi kesempatan,” kata Sri Mulyani dalam Sosialisasi UU HPP beberapa waktu lalu.

Adapun dalam PPS kali ini, pemerintah menyusun dua kebijakan yang mengklasifikasi wajib pajak dengan besaran tarif PPh final berbeda-beda.

Baca juga:  PERLU DICIPTAKAN LAPANGAN KERJA UNTUK MENCEGAH PEKERJA MIGRAN ILEGAL

Kebijakan I diperuntukkan bagi wajib pajak orang pribadi (OP) maupun wajib pajak badan yang mengikuti program tax amnesty tahun 2016, namun masih ada harta perolehan tahun 2015 yang belum diungkapkan.

Sementara kebijakan II untuk wajib pajak orang pribadi baik peserta tax amnesty sebelumnya maupun non peserta, yang belum mengungkap harta perolehan tahun 2016-2020 dalam SPT Tahun 2020. Namun, harta itu masih dimiliki per tanggal 31 Desember 2020.

Tarif PPh final dalam kebijakan I lebih rendah dibanding tarif PPh final kebijakan II, tujuannya untuk memberikan asas keadilan bagi para peserta tax amnesty sebelumnya.

Namun, dua kebijakan itu memiliki fokus yang sama, yakni tarif PPh final lebih murah untuk harta di luar negeri yang direpatriasi ke dalam negeri maupun harta dalam negeri dibanding harta luar negeri yang tidak direpatriasi.

Bahkan bisa lebih murah lagi jika harta dalam negeri maupun harta luar negeri yang direpatriasi diinvestasikan dalam instrumen Surat Berharga Negara (SBN) atau di bidang hilirisasi sumber daya alam/energi terbarukan.

Baca juga:  DEMO MAHASISWA 11 APRIL PINDAH DARI ISTANA KE DPR

Berikut ini dua kebijakan PPS tahun depan.

Kebijakan I
A. 11 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
B. 8 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
C. 6 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan.

Kebijakan II
A. 18 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
B. 14 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
C. 12 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan.

SN 09/Editor