Dalam sebuah dilema kepentingan buruh dan kepentingan politik. Tak bisa dipungkiri kepentingan politik juga didasari oleh perjuangan para buruh untuk mendapatkan kesejahteraan.
(SPN News) Jakarta, Saat menjelang kontestasi politik, entah itu skala kedaerahan seperti pilkada maupun skala nasional (dalam hal ini pemilu) suara buruh menjadi sangat penting dan menjadi diperhitungkan. Ketika sebagian pejuang buruh dengan idealismenya bertahan dalam memperjuangkan kesejahteraan melalui jalur-jalur penegakan hukum normatif ketenagakerjaan, sebagian lain mempunyai pemikiran bahwa kesejahteraan buruh harus diperjuangkan melalui politik praktis dengan mendirikan partai politik. Hal ini pernah terjadi dalam beberapa pemilu sebelumnya. Partai yang didirikan jelas jelas dengan nama Partai Buruh. Bentuk manifestasi pemikiran yang akhirnya harus hilang karena lebih banyak buruh yang tidak bisa percaya dengan wujud partai tersebut. Pemikiran lain adalah dengan berusaha mengikuti kontestasi politik dengan berusaha menjadi anggota legislatif, berharap bisa mempengaruhi berbagai kebijakan atau pun norma perundang-undangan ke arah perjuangan buruh dalam filosopinya.
Hingga kini setelah era reformasi berjalan 20 tahun status buruh cenderung menjadi komoditas dari kepentingan politik praktis. Tak ada jaminan serikat pekerja mendekati kelompok elite partai politik bisa memperjuangkan hak buruh, pun tak ada jaminan dukungan buruh tidak dimanfaatkan sebagai kendaraan elite partai politik untuk meraih suara. Dosen Ketenagakerjaan Pascasarjana Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai pergerakan serikat buruh di Indonesia tidak lagi efektif memfasilitasi kepentingan buruh dan malah cenderung mendekati kepentingan politik dengan berafiliasi dengan partai politik. Kepentingan untuk memperjuangkan hak sesama buruh selama ini dianggap tak terakomodasi dengan baik.
“Dia kalau dekat dengan parpol tentunya kurang proporsional, karena dijadikan ‘kendaraan’ untuk menggerakkan massanya. Lebih baik buruh tidak membuat serikat buruh yang seperti itu, (tapi) lebih ke independen,” kata Trubus.
Namun, serikat buruh yang independen sangat mustahil dilakukan di Indonesia, permasalahannya selain yang sudah disebutkan, juga ada urusan pembiayaan operasional. Trubus menyebut pembiayaan operasional di dalam serikat buruh di Indonesia tidak lepas dari donasi elite pengusaha atau elite partai politik yang menjadikannya tidak bisa berdiri sendiri. Bahkan untuk bisa berdiri sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak elite yang berkepentingan nampaknya juga tidak mudah, selain masalah pembiayaan juga karena sudah tidak ada lagi tokoh yang bisa menjadi motor di dalam serikat buruh sendiri.
Trubus juga menyayangkan mental buruh sekarang tidak lagi mengedepankan perjuangan tanpa pamrih. Dia membandingkannya dengan saat perjuangan yang dilakukan oleh Marsinah, tokoh buruh wanita yang dibunuh karena menuntut hak kesejahteraan bagi kelompoknya. “Sekarang demo-demo pada saat May Day lebih banyak tuntutan politik bukan tuntutan kesejahteraan, tapi memang berangkatnya dari titik kesejahteraan, tapi kemudian setelah itu larinya ke politik karena kesejahteraan dianggap sudah cukup,” ujarnya.
Saran yang diberikan oleh Trubus untuk pergerakan politik alternatif dari serikat buruh adalah melakukan konsolidasi internal, seperti melakukan dialog bersama yang akhirnya menjadikan suara yang terdengar tapi menghasilkan efek yang luar biasa.
Dede Hermawan/Editor