Oleh: Jusuf Irianto, Guru Besar Manajemen SDM di Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga
Salah satu hak pekerja yang tak dapat diabaikan perusahaan adalah hak untuk berserikat. Di tengah badai perekonomian menjurus resesi global, perusahaan menghadapi berbagai macam masalah. Dalam kondisi ini, pekerja sangat rentan diberhentikan secara sepihak tanpa memiliki kekuatan atau kemampuan untuk mempertahankan hak-haknya.
Fenomena umum yang kerap dialami pekerja atau buruh pada saat bekerja adalah upah di bawah batas minimum yang ditetapkan pemerintah. Selain itu upah atas lembur dan hak cuti diabaikan perusahaan. Sementara perlakuan yang acap membuat pekerja kelimpungan adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti dilakukan oleh banyak perusahaan akhir-akhir ini.
Karena itu, pekerja butuh payung kelembagaan yang melindungi hak dan kepentingan sekaligus martabatnya sebagai manusia. Serikat pekerja merupakan wujud nyata kelembagaan protektif. Setiap pekerja berhak memperolah perlindungan dan perlakuan manusiawi.
Konsep serikat pekerja dapat dimaknai sebagai perkumpulan pekerja yang bertujuan melindungi hak-haknya dalam bekerja. Serikat pekerja berfungsi agar penyelesaian masalah pemenuhan hak pekerja dapat dipenuhi oleh perusahaan lebih efektif.
Eksistensi serikat pekerja tak boleh dikesampingkan karena secara legal-formal dijamin oleh pemerintah melalui pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Tak sekadar level nasional, serikat pekerja juga didukung secara universal melalui berbagai konvensi yang dimotori Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO).
Dengan dukungan legal-formal serta kelembagaan tingkat nasional dan internasional, berbagai kepentingan untuk kesejahteraan pekerja dapat lebih mudah diperjuangkan dan dibela. Para pekerja memperoleh skema perlindungan tak sekadar efektif, namun juga berkelanjutan.
Keberlanjutan perlindungan bagi pekerja diwujudkan pemerintah melalui Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dalam UU ini dijelaskan serikat pekerja dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja baik di dalam/luar perusahaan.
Serikat pekerja bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab. Karakter ini merupakan basis serikat dalam memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Dalam kegiatannya, serikat pekerja juga berupaya meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Pembentukan serikat pekerja merupakan hak bagi semua pekerja merujuk pasal 104 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh.
Permasalahan
Namun sungguh tak mudah mewujudkan serikat pekerja berfungsi optimal bagi perlindungan hak, kepentingan, dan peningkatan kesejahteraan anggota. Meskipun dijamin UU dan konvensi ILO, ada berbagai permasalahan yang perlu mendapat perhatian dan solusinya.
Dalam membantu anggota menyelesaikan masalah terkait hubungan industrial misalnya, proses yang dilakukan butuh waktu lama. Hal ini disebabkan kapasitas dan kapabilitas serikat pekerja dalam negosiasi atau perundingan dengan perusahaan sangat lemah.
Proses penyelesaian masalah PHK dan upaya memastikan status pekerja dalam suatu perusahaan misalnya, dapat memakan waktu tahunan hanya sekadar untuk mencapai satu titik temu berupa kesepakatan. Demikian pula dengan masalah lainnya misalnya pemberian tunjangan hari raya (THR) dan sejumlah tuntutan lainnya.
Selain kemampuan negosiasi, serikat pekerja juga mengalami hambatan internal yakni fungsi dan struktur organisasi belum optimal. Permasalahan organisasional ini mengurangi kadar kemampuan serikat pekerja merespon kebutuhan pekerja. Jika masalah organisasi ini tak kunjung diselesaikan, bukan mustahil pekerja justeru akan meninggalkannya.
Minimnya pemahaman dan kemampuan personil dalam kepengurusan serikat pekerja dalam strategi perundingan diperparah rendahnya motivasi pengurus menyelesaikan perkara yang dialami anggota. Sementara perbedaan penafsiran dan pemikiran di antara pengurus terkait materi perundingan semakin memperlemah kohevisitas kelompok pekerja.
Dari sisi eksternal organisasi, dukungan perusahaan atau stakeholders lain terhadap keberadaan serikat pekerja pun hampir nihil. Bahkan ada potensi pimpinan perusahaan bertindak sepihak melakukan PHK terhadap pengurus serikat pekerja. Perusahaan juga mengancam pekerja yang terlibat aksi mogok.
Potensi perlakuan buruk disebabkan pengetahuan dan pemahaman pimpinan terhadap keberadaan serikat pekerja sangat rendah. Sebab itu, pimpinan harus memahami dan menyadari bahwa hakekat serikat pekerja merupakan mitra dalam mewujudkan hubungan industrial yang harmonis.
Hakekat Serikat Pekerja
Melalui naungan serikat pekerja, para pekerja memperoleh berbagai manfaat khususnya dalam pemenuhan hak berserikat. Dengan bantuan serikat, pekerja memiliki kekuatan dalam rangka menyepakati perjanjian kerja. Selain itu, serikat juga dapat mewakili (representasi) pekerja dalam setiap upaya penyelesaian perselisihan industrial.
Hakekat serikat pekerja juga mencakup makna fungsional yakni mewakili pekerja dalam lembaga ketenagakerjaan yang dibentuk pemerintah. Selain itu, serikat pekerja juga dapat melakukan kegiatan yang berorientasi mendukung upaya peningkatan kesejahteraan pekerja serta kegiatan ketenagakerjaan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Jajaran pengurus serikat pekerja memiliki kewajiban sesuai dengan tujuannya yakni melindungi dan membela pekerja sebagai anggota dari berbagai pelanggaran hak oleh perusahaan. Pengurus juga harus mampu mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggota dan stakeholders sesuai ketentuan.
Hakekat serikat sebagai representasi pemenuhan kepentingan, hak, dan kesejahteraan pekerja sebagai anggota sesuai ketentuan yang terdapat dalam pasal 28 UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja. Di dalam pasal ini diatur perlindungan hak pekerja untuk membentuk serikat sekaligus melarang seseorang menghalangi atau memaksa pekerja untuk tak membentuk serikat.
Makna serikat pekerja kini berkembang melampaui batas regulasi yang telah ditetapkan pemerintah dengan munculnya era teknologi digital. Seiring kemajuan teknologi, serikat pekerja harus mampu meningkatkan kemampuan melindungi sekaligus meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Di era yang sangat moderen saat ini, serikat pekerja harus mampu memanfaatkan kehadiran teknologi digital. Tak sekadar bermanfaat dari perspektif hubungan industrial, namun juga dalam kaitannya dengan strategi pengurus serikat pekerja dalam menjangkau dan membuat saluran komunikasi dengan anggota lebih mudah.
Melalui pemanfaatan teknologi digital, pengurus serikat pekerja dapat lebih efektif menjangkau data atau informasi aktual tentang kondisi setiap pekerja. Demikian pula saluran komunikasi (communication channel) dapat dibangun lebih efisien sehingga semua data atau informasi dapat disampaikan lebih efektif.
Saluran komunikasi murah bisa diwujudkan dengan memanfaatkan telepon seluler dari setiap anggota yang terkoneksi internet. Dengan aplikasi atau media sosial, setiap pekerja dapat menyampaikan keluhan tentang perlakuan buruk perusahaan yang dialami atau masalah lainnya. Pengurus dapat mengidentifikasi permasalahan pekerja setiap saat.
Di era teknologi maju saat ini, serikat pekerja menjelma menjadi organisasi digital sebagai salah satu strategi modernisasi/pembaruan kelembagaan hanya dengan menggunakan media sosial. Namun, serikat pekerja harus membuka saluran komunikasi dan informasi dua arah sehingga terbuka bagi semua pekerja mendapat akses informasi.
Seperti temuan Bia Carneiro dan Hermes Augusto Costa (2022) dalam studinya bertajuk “Digital unionism as a renewal strategy? Social media use by trade union confederations”. Dalam tulisan ini diuraikan implikasi penggunaan platform media sosial oleh serikat pekerja untuk selalu terhubung dan berinteraksi dengan audiens lebih luas di luar entitas pekerja.
Namun, melalui analisis komparatif komprehensif dari halaman Facebook dari enam konfederasi serikat pekerja yang ada di Brasil, Kanada, Portugal, dan Inggris; Carneiro dan Costa menemukan bahwa meskipun ada kemungkinan dialog horizontal melalui teknologi digital, serikat pekerja tak dapat maksimal karena model komunikasi yang diterapkan satu arah.
Model komunikasi tersebut merupakan penghalang bagi peluang untuk menjangkau dan terlibat baik dengan para pelaku serikat pekerja maupun non-serikat pekerja yang lebih luas.
Karena itu, pengurus serikat pekerja harus mengubah paradigma keterbukaan bagi semua pihak untuk saling memberi informasi tentang kondisi ketenagakerjaan dan berbagai masalah yang dialami pekerja.
Para pengurus serikat pekerja dan pimpinan perusahaan di Indonesia dapat belajar pengalaman dari negara lain untuk memperkokoh hubungan industrial yang semakin harmonis.
Pemerintah, pimpinan perusahan dan stakeholders lainnya bersatupadu meningkatkan skills pengurus serikat pekerja agar mampu menyelesaikan masalah lebih cepat dan tepat. Pembenahan juga menyasar kemampuan pengurus dalam merespon kebutuhan pekerja.
Referensi:
Bia Carneiro & Hermes Augusto Costa. (2022). Digital unionism as a renewal strategy? Social media use by trade union confederations. Journal of Industrial Relations, 64(1), 26–51. https://doi.org/10.1177/0022185620979337