Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) adalah hak pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja menjelang hari raya keagamaan dan berupa uang. Adapun aturan yang mengatur tentang THR adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Buruh/Pekerja di Perusahaan dimana peraturan ini menggantikan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.04/MEN/1994.

Berdasarkan Permenaker No 6 Tahun 2016 ini “setiap yang mempekerjakan orang lain dengan imbalan upah wajib membayar THR, baik itu berupa perusahaan, perorangan, yayasan atau perkumpulan”. Sesuai dengan yang tertera dalam Permenaker No 6 Tahun 2016 pasal 2, pengusaha diwajibkan untuk memberi THR Keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan atau lebih secara terus menerus. Peraturan ini tidak membedakan status pekerja apakah telah menjadi pekerja TETAP, Pekerja KONTRAK atau pekerja PARUH WAKTU.

Besaran THR sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 1 Permenaker No 6/2016 ditetapkan sebagai berikut :

  1. Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah.
  2. Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan masa kerja/12 x 1 (satu) bulan upah.
Baca juga:  DI PABRIK RENTAN PENULARAN COVID -19

Upah yang dimaksud disini adalah upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih atau upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap sesuai dengan Permenaker No 6/2016 pasal 3 ayat 2.

Pada Permenaker No 6/2016 pasal 7 mengatur tentang :

  1. Bagi seorang karyawan tetap (pekerja yang dipekerjakan melalui Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) dan terputus hubungan kerjanya PHK terhitung sejak waktu 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, maka ia berhak THR. Maksudnya jika hubungan kerjanya berakhir dalam jangka waktu 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, maka pekerja yang bersangkutan tetap berhak atas THR (secara normatif). Namun sebaliknya jika hubungan kerjanya berakhir lebih lama dari 30 hari, maka hak atas THR dimaksud gugur.
  2. Sedangkan bagi karyawan kontrak (pekerja yang dipekerjakan melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), walau kontrak hubungan kerjanya berakhir dalam jangka waktu 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, tetap tidak berhak THR.

Sedangkan menurut pasal 2 ayat 1, pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih. Jika pekerja sudah bekerja lebih dari satu tahun dan pekerja ingin mengundurkan diri/resign yang berakibat putusnya hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha, maka pekerja berhak atas THR selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh pasal 7 ayat 1 Permenaker No 6/2016 yakni 30 hari.

Baca juga:  PENGUSAHA HOTEL RESTORAN TUNTUT KERINGANAN PAJAK KEPADA GUBERNUR DKI

Pengusaha harus membayarkan THR kepada pekerja/buruhnya paling lambat 7 hari sebelum Hari Raya (H-7) hari Keagamaan pekerja agar memberi keleluasaan bagi pekerja menikmatinya bersama keluarga. Pengusaha yang terlambat membayar THR kepada pekerja/buruh akan dikenai denda 5% dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar, pengenaan denda ini bukan berarti menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR kepada pekerja/buruh. Pengusaha yang melanggar ketentuan pembayaran THR akan diancam dengan hukuman sesuai dengan ketentuan pasal 17 UU No 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja, hukumannya pidana kurungan dan denda. Yang bisa dilakukan oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh apabila pengusaha melanggar adalah mengadukannya ke Dinas Tenaga Kerja setempat dan juga bisa mengajukan gugatan perselisihan hak ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Shanto dari berbagai sumber/Coed