Sektor pertanian diharapkan dapat menyerap korban PHK dari sektor lain

(SPN News) Jakarta, Kementerian Ketenagakerjaan memperkirakan pengangguran bisa bertambah hingga 5,23 juta orang akibat dampak Covid-19. Sementara menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2020 sebelum dampak pandemi menerpa perekonomian Indonesia, ada sekitar 6,88 juta orang menganggur. Apabila kondisi akibat pandemik ini terus berlanjut maka diperkirakan akan ada lebih dari 10 juta masyarakat Indonesia menganggur.

Kamar Dagang Indonesia (KADIN) hingga Mei mencatat 6 juta orang pekerja dirumahkan maupun di-PHK. KADIN merinci, 2,6 juta di antaranya berasal dari industri tekstil dan alas kaki, 1,43 juta dari restoran dan perhotelan, dan sisanya dari sektor lain. Selain sektor formal, sebagian besar sektor informal juga terdampak melalui penurunan pendapatan dan bahkan tidak sedikit yang terpaksa menutup usahanya. Sehingga penambahan penganggur diperkirakan lebih dari jumlah yang disebutkan di atas.

Saat ini sudah terjadi pelonggaran PSBB dan berbagai upaya pemulihan perekonomian dilakukan pemerintah. Namun kenyataan bahwa pandemi belum berakhir akan membatasi kegiatan produksi utamanya yang mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. Anjuran jaga jarak hingga temuan terbaru World Health Organization (WHO) mengenai penyebaran SARS-COV2 melalui udara khususnya pada ruangan tertutup akan membatasi penggunaan tenaga kerja pada sektor industri manufaktur seperti industri tekstil dan alas kaki maupun sektor pariwisata seperti hotel dan restoran.

Walaupun roda perekonomian terpaksa dijalankan demi mengurangi dampak ekonomi dari wabah, daya tampung tenaga kerja masing-masing sektor tidak akan sama dengan kondisi sebelumnya.

Upaya lain harus diambil pemerintah untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19 terhadap penambahan pengangguran. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang dapat menerapkan protokol kesehatan relatif lebih mudah dibandingkan sektor industri maupun pariwisata. Selain itu elastisitas permintaan terhadap produksi pertanian relatif lebih rendah karena dalam kondisi apapun masyarakat tetap harus makan.

Sementara itu restriksi sosial dan perdagangan internasional akan menekan permintaan terhadap sektor industri maupun pariwisata. SDGs Center Universitas Padjadjaran memprediksi sektor pariwisata dan industri manufaktur akan terkena dampak parah akibat pandemi Covid-19. Hal tersebut terkonfirmasi melalui rilis BPS mengenai pertumbuhan ekonomi Triwulan I di wilayah Bali dan Nusa Tenggara yang mengalami kontraksi perekonomian hampir 7 persen dibandingkan triwulan sebelumnya.

Dalam analisisnya lebih jauh dijelaskan bahwa daerah basis industri seperti Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat akan terdampak cukup besar. Sementara sektor pertanian akan terkena dampak paling kecil dibandingkan sektor lain. Krisis moneter 1998 telah membuktikan bahwa sektor pertanian mampu menjadi sektor penyangga untuk menampung kembali tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan.

Baca juga:  SIDANG PHI GUGATAN TERHADAP PSP SPN PT KAHOINDAH CITRAGARMENT

Hal tersebut dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mempersiapkan kemungkinan krisis yang sudah di depan mata. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II berkisar -5,1 hingga -3,5 persen dengan nilai tengah -4,3 persen. Jatuh lebih dalam dibandingkan prediksi sebelumnya yaitu minus 3,8 persen.

Kondisi tersebut diperparah dengan kenyataan bahwa perekonomian Singapura sebagai salah satu mitra dagang strategis sudah 2 triwulan mengalami kontraksi. Selain itu, belum stabilnya hubungan AS-Tiongkok menambah ketidakpastian perekonomian global di tengah pandemi Covid-19. Dengan situasi perekonomian global yang serba tidak menentu, sudah saatnya pemerintah mengembalikan petani menjadi profesi yang diminati oleh para pemuda yang kehilangan pekerjaan di sektor industri manufaktur maupun pariwisata.

Perekonomian Indonesia yang didominasi konsumsi rumah tangga menjamin keberlangsungan permintaan produksi pertanian yang berkelanjutan. Menurut hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) BPS, pada 2020 diperkirakan ada sekitar 269,6 juta jiwa penduduk Indonesia yang kebutuhan perutnya harus dipenuhi. Dengan terganggunya perdagangan internasional, impor bahan pangan diprediksi juga akan mengalami gangguan.

Pengalaman krisis moneter 1998 meninggalkan generasi yang mengalami stunting dan kekurangan nutrisi cukup parah. Dalam hal ini pemerintah harus menjamin ketersediaan pangan yang berkesinambungan dengan mengurangi ketergantungan terhadap impor.

Menurut data hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018, sebesar 50 persen lebih petani utama di Indonesia berusia 45-64 tahun. Bahkan sekitar 13 persen berusia 65 tahun ke atas, sedangkan hanya sekitar 35 persen yang berusia kurang dari 45 tahun.

Pelaku sektor pertanian yang didominasi petani usia lanjut membuat penyerapan teknologi sangat lambat. Hasilnya produktivitas petani cukup rendah dibandingkan negara lain. Sebagai contoh untuk tanaman padi di Indonesia hanya mampu menghasilkan sekitar 5,3 ton per hektar sedangkan petani Australia mampu menghasilkan 8,6 ton dan Jepang 6,5 Ton dengan ukuran lahan yang sama. Fakta tersebut menunjukkan sektor ini membutuhkan suntikan tenaga baru yang mampu menggerakkan perekonomian dengan lebih optimal.

Salah satu fakta yang menjadikan sektor pertanian kurang diminati oleh angkatan kerja muda karena sektor agraris sangat identik dengan pendapatan yang kecil dan kemiskinan. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, jika dilihat dari tren Nilai Tukar Petani (NTP) setahun terakhir hanya berkisar 99 hingga 104 poin. Bahkan selama Mei-Juni NTP hanya sebesar 99 poin, artinya daya tukar hasil pertanian belum mampu memenuhi kebutuhan usaha pertanian dan kebutuhan rumah tangga petani. Hal ini akibat turunnya harga hasil produksi pertanian lebih besar dibandingkan penurunan harga kebutuhan rumah tangga maupun kebutuhan usaha petani.

Baca juga:  DPR RI MERUMUSKAN PIDANA KORUPSI SWASTA MASUK RUU KUHP

Selain itu, sejak 5 bulan terakhir, upah buruh tani selalu mengalami kenaikan baik secara riil maupun nominal. Hal ini menjadikan ongkos produksi pertanian menjadi meningkat. Namun di sisi lain, hal ini menjadi kabar baik dalam upaya peningkatan kesejahteraan buruh tani sebagai salah satu pelaku sektor pertanian. Sehingga untuk menjaga tingkat kesejahteraan pelaku sektor pertanian, yang harus dijaga pemerintah adalah harga hasil pertanian pada tingkat yang wajar.

Kebijakan pengendalian harga melalui impor harus lebih cermat terutama pada saat masa panen hasil pertanian. Seringkali harga jual hasil pertanian terpukul karena kebijakan impor pemerintah yang berbarengan dengan masa panen. Selain itu, kebijakan lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah perbaikan jalur distribusi hasil pertanian yang selama ini masih belum baik.

Kondisi tersebut mengakibatkan ketidakmerataan distribusi, hasil pertanian kerap kali menumpuk di daerah sentra produksi sehingga harganya jatuh, sedangkan di daerah lain mengalami kelangkaan sehingga harganya tinggi. Oleh karena itu, kebijakan stimulus pemulihan perekonomian yang dilakukan pemerintah pada sektor industri manufaktur dan pariwisata seharusnya juga menyentuh sektor pertanian.

Sektor pertanian sudah sepatutnya menjadi prioritas utama di tengah pandemi yang belum juga menunjukkan perbaikan. Terlebih lagi, sektor pertanian menyumbang sekitar 12 persen pembentukan PDB. Sektor ini memiliki peran terbesar ketiga setelah sektor industri manufaktur dan perdagangan.

Pada akhirnya pemulihan sektor pertanian tidak hanya akan mampu menampung tenaga kerja dan pemulihan perekonomian, melainkan juga akan mampu menciptakan kestabilan geopolitik nasional. Krisis perekonomian maupun krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat diminimalisasi melalui upaya penyediaan pangan sebagai salah satu instrumen geopolitik nasional. Karena rakyat yang kelaparan akan menimbulkan ketidakstabilan politik, hukum, dan keamanan negara.

SN 09/Editor