Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, Sejarah hari buruh di Indonesia dimulai pada era kolonial Hindia Peringatan ini dimulai dari 1 Mei 1918 oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee. Aksi ini berawal dari tulisan Adolf Baars, seorang tokoh sosialis Belanda. Baars mengkritik harga sewa tanah milik kaum buruh yang terlalu murah untuk dijadikan perkebunan.

Selain itu, Baars mengungkapkan bahwa kaum buruh bekerja keras tanpa upah yang layak. Ia juga memprotes sistem kepemilikan pabrik gula di Jawa. Tak hanya pertama di Hindia Belanda, perayaan ini juga pertama kali digelar di Asia. Sayangnya, penduduk asli belum tertarik pada perayaan ini. Setelah tiga tahun, pada 1921, HOS Tjokroaminoto, ditemani oleh muridnya, Soekarno, berpidato mewakili serikat buruh di bawah pengaruh Sarekat Islam.

Dua tahun setelahnya, pada 1923, terjadi peringatan hari buruh terpanjang di era kolonial. Setelah perayaan 1 Mei, buruh kereta api mengalami pemotongan gaji buruh. Buruh kereta api pun melakukan aksi mogok yang berhasil melumpuhkan perhubungan, namun diberi ancaman pemecatan apabila tidak segera kembali bekerja. Tiga tahun setelah itu, pada 1926, peringatan hari buruh ditiadakan.

Baca juga:  SPN DKI JAKARTA MAY DAY AKSI YES... HOLIDAY NO!

Pemerintah Hindia Belanda sedang waspada karena ada kabar bahwa akan ada perlawanan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia. Perlawanan ini benar-benar terjadi, namun gagal. Hari buruh pun tidak lagi dirayakan, dan itulah akhir dari sejarah hari buruh di era kolonial.

Perayaan hari buruh nasional kembali muncul sejak kemerdekaan. Pada 1 Mei 1946, sejarah hari buruh mencatat Kabinet Sjahrir membolehkan perayaan ini, bahkan menganjurkannya. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 juga mengatur bahwa tiap 1 Mei, buruh boleh tidak bekerja. Undang-undang tersebut juga mengatur perlindungan anak dan hak perempuan sebagai pekerja.

Hadirnya undang-undang ini memantik berbagai aksi yang dilakukan buruh pada 1 Mei. Pada 19 Mei 1948, ribuan petani dan buruh mogok untuk menuntut pembayaran upah yang telah tertunda. Pemogokan buruh berhenti setelah Perdana Menteri Mohammad Hatta mengadakan pertemuan dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) pada 14 Juli 1948.

Baca juga:  TENAGA KERJA ASING: MITRA PEMBANGUNAN ATAU ANCAMAN PENGANGGURAN?

Dua tahun setelahnya, pada 1950, buruh kembali menuntut haknya, yaitu Tunjangan Hari Raya (THR). Pemerintah mengeluarkan Peraturan Kekuasaan Militer Pusat Nomor 1 Tahun 1951, yang menjadi awal keterlibatan militer dalam isu perburuhan.

Dalam catatan sejarah hari buruh pada masa Orde Baru, perayaan hari buruh dilarang karena identik dengan aktivitas dan paham komunis. Pada tahun 1960, istilah buruh juga diganti dengan istilah karyawan di masa ini. Karyawan diambil dari kata karya (kerja) dan -wan (orang).

Baru pada masa reformasi, hari buruh kembali rutin dirayakan di banyak kota, dan mengusung berbagai tuntutan mulai dari kesejahteraan hingga penghapusan sistem alih daya. BJ Habibie sebagai presiden pertama di reformasi melakukan ratifikasi konvensi ILO Nomor 81 tentang kebebasan berserikat buruh.

Pada 1 Mei 2013, terjadi peristiwa sejarah hari buruh yang penting di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan hari buruh sebagai hari libur nasional.

SN 09/Editor