(SPNEWS) Jakarta, Pasal 21 UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan : (1) Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja, (2) Dalam hal peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 6 (enam) bulan belum memperoleh pekerjaan dan tidak mampu, iurannya dibayar Pemerintah, (3) Peserta yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah, (4) Ketentuan sebagaimana di atas dimaksud pada ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Pada praktiknya dilapangkan karena ketidaktahuan dari peserta dan “kenakalan” dari mitra operator BPJS, sering kali klinik sebagai Farkes 1 maupun Rumah Sakit menolak untuk memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal di atas. Ini jelas-jelas merugikan hak-hak pekerja, sudah menjadi korban PHK harus juga kehilangan hak-hak mereka sebagai warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Dalam peraturan BPJS Nomer 1072/IV-06/0415 pada point 3 menyatakan Pasal 7 disebutkan Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan terdiri atas Pekerja Penerima Upah yang mengalami PHK tetap memperoleh hak manfaat Jaminan Kesehatan paling lama 6 (enam) bulan sejak di PHK tanpa membayar iuran. Dalam point 5 peraturan BPJS ini pengusaha wajib membayarkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional sampai proses PHK tersebut mendapat kekuatan hukum tetap dan apabila perusahaan tersebut pailit maka perusahaan pun harus memperoleh ketetapan hukum melalui pengadilan hukum yang berwenang melalui mekanisme yang berlaku.
Selain itu Pemerintah Daerah melalui UU No 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menggunakan 10% dana APBDnya untuk pembiayaan pelayanan JAMKESDA/KJS, PBI BPJS dan infrastruktur Rumah Sakit dan atau Puskesmas. Dengan ketentuan ini masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan serta tidak memiliki Kartu BPJS maupun menunggak iuran dapat mengajukan keterangan tidak mampu ke RT, RW, Desa/Kelurahan, Kecamatan, Bupati/Walikota dan Gubernur untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana yang diatur dalam UU No 39 Tahun 2009 maupun UUD 1945.
Kalau kita melihat lagi peraturan perundang-undangan dan konstitusi negara ini, sudah seharusnya kita sebagai warga negara tidak perlu lagi “MEMBAYAR IURAN” untuk mendapatkan pelayanan jaminan kesehatan. Oleh karena itu penting juga pengurus sp/sb untuk lebih mempelajari UU No 1 Tahun 1970 Tentang K3, UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan terutama UUD 1945, agar ketentuan perundang-undangan itu dipakai dalam bernegosiasi dengan pengusaha sehingga pekerja tidak perlu lagi harus “MEMBAYAR IURAN” untuk mendapatkan lagi jaminan pelayanan kesehatan.
Shanto dari berbagai sumber/Coed