Pukat UGM menilai sanksi pidana di RUU Cipta Kerja tidak jelas
(SPN News) Yogyakarta, Pusat Studi Anti korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai RUU Cipta Kerja tidak sesuai dengan nilai-nilai anti korupsi dan tidak jelas merumuskan sanksi pidana.
Hal ini mengemuka dalam diskusi Masalah Pemidanaan dan Potensi Kerugian Sosial RUU Cipta Kerja.
“Dibanding dengan pengaturan di dalam berbagai UU yang sebelumnya, RUU Cipta Kerja memuat perumusan konsep pemidanaan yang masih kabur,” ujar peneliti Pukat UGM Eka Nanda Ravizki dalam pernyataan tertulis (22/7/2020).
Eka mengungkapkan perumusan sanksi pidana dalam RUU Cipta Kerja tidak jelas karena mencampuradukkan sanksi pidana dan sanksi administratif. Menurutnya, substansi pemidanaan di RUU itu telah mengelabui publik.
“Sebab ketentuan lebih lanjut berkaitan dengan sanksi akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, meskipun sebenarnya PP tidak boleh mengatur ketentuan pidana,” kata dia.
Eka mencontohkan hal itu pada pasal yang mengatur soal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Jika aturan sebelumnya memberi sanksi pidana dan denda, RUU Cipta Kerja hanya akan memidana jika pelanggar tak memenuhi sanksi administratif.
Selain itu, RUU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan kerugian sosial. Penggunaan pendekatan perizinan berbasis risiko di RUU ini harus dibatalkan karena konsep tersebut tak jelas rujukannya.
Rimawan Pradiptyo, pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, menyebut aspek perizinan berbasis risiko atau Risk Based Approach (RBA) di RUU Cipta Kerja ternyata berbeda dari literatur selama ini.
Menurutnya, pendekatan tersebut sebaiknya dibatalkan karena pemerintah belum siap untuk menerapkan RBA dalam RUU Cipta Kerja. “Indonesia belum memiliki database yang mumpuni yang mampu mengidentifikasi risiko secara tepat,” kata dia.
Selain itu, identifikasi masalah dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja dan solusi-solusinya tidak cocok. “Pada dokumen naskah akademik RUU Cipta Kerja, aspek kelembagaan diakui masih lemah, tetapi perbaikan yang diperlukan terhadap aspek kelembagaan tidak tercantum dalam RUU,” tuturnya.
Peneliti Pusat Pendidikan dan Kajian Antikorupsi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Fira Mubayyinah, menyebut pentingnya penerapan nilai-nilai antikorupsi dalam perumusan sebuah UU.
“Pengaturan dalam RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan nilai-nilai anti korupsi. Sebagai contoh, sentralisasi perizinan akan membuka keran risiko perilaku korupsi seperti zaman Orde Baru,” kata dia.
Contoh lainnya, kata Fira, RUU Cipta Kerja mencabut perlindungan dan hak-hak rakyat dan kaum buruh. Ia menilai hal ini sebagai perbuatan koruptif karena seharusnya hak-hak tersebut diberikan.
Di sektor ekonomi, RUU Cipta Kerja juga memosisikan UMKM sebagai pemasok perusahaan-perusahaan besar. Kesenjangan kedudukan ini tidak sesuai dengan nilai anti korupsi untuk memberikan sesuatu sesuai dengan porsinya.
“Apabila RUU Cipta Kerja tidak mengindahkan nilai antikorupsi, maka akan menghasilkan produk yang berpotensi membuka ruang korupsi. Untuk itulah, nilai-nilai antikorupsi mesti mengideologi dalam pembentukan suatu UU,” katanya.
SN 09/Editor