Mitos “Keperawanan” dan Selaput Dara
(SPN News) Semarang, Apa itu selaput dara?. Mungkin sebagian orang akan menjawabnya sebagai keperawanan, bagian tubuh seorang perempuan yang penting sekali di jaga, kalau robek di khawatirkan akan mempengaruhi tubuh secara keseluruhan dan masih brmacam-macam jawaban lainnya. Tidak banyak perempuan yang paham soal “keperawanan”.
“Perawan adalah ketika berhubungan seksual pertama kali dengan laki-laki dan mengeluarkan darah dari vagina. Ketika hal itu tidak terjadi maka perempuan tersebut sudah tidak perawan” kata Titin, satu satu peserta agenda Refleksi Hari Ibu yang di selenggarakan oleh Komite Perempuan DPC SPN Kab/Kota Semarang pada Sabtu (22/12). Agenda yang rutin di selenggarakan oleh Komite Perempuan DPC SPN Kabupaten Semarang setiap 3 bulan sekali ini dan kebetulan bertepatan dengan Hari Ibu di manfaatkan untuk membahas seputar permasalahan pekerja perempuan baik di tingkat perusahaan di dalam rumah tangga maupun di lingkungan sosial tempat tinggal. Dan salah satu yang menjadi bahasan menarik dalam agenda kali ini adalah tentang “keperawanan”.
Selaput dara begitu diagungkan karena di kaitkan erat dengan yang namanya keperawanan. Sebagian Dokter masih tidak yakin dengan fungsi selaput dara sebenarnya. Menurut mereka selaput dara tidak punya fungsi khusus dalam tubuh perempuan. Banyak peneliti sosial-humaniora menyatakan bahwa keperawanan merupakan konstruksi dalam budaya Patriarkis. Bahwa kesucian dan keberhargaan perempuan di nilai dari keperawanannya. Dan keperawanan itu sendiri di patok dari keutuhan selaput dara. Bila membran tipis ini robek saat berhubungan seksual pertama kali dia tidak berdarah, artinya dia sudah pernah bersetubuh sebelumnya dan dianggap sudah tidak suci lagi. Sungguh pendapat salah kaprah yang kemudian di amini oleh mayoritas masyarakat.
Robeknya selaput dara bisa dikarenakan bermacam- macam aktivitas seperti kecelakaan, berolah raga atau pengguanaan pembalut wanita yang kurang tepat. Bahkan Seksolog pun telah menemukan beberapa kasus di mana perempuan lahir tanpa selaput dara. Jika demikian masih benarkah bila selaput dara di jadikan tolak ukur keperawanan?. Pertanyaan lain yang sering timbul seputar keperawanan dan selaput dara adalah apakah perempuan masih di bilang perawan bila pernah masturbasi? Sedangkan masturbasi sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara yang tanpa sedikitpun merusak selaput dara, apakah masih perawan? Lalu sejauh mana btasan keperawanan? Tidak ada jawaban pasti tentang hal ini. Lantaskah hal ini bisa di jadikan alasan untuk mendiskriminasikan hak-hak perempuan? Jawabnya “tidak” karena “keperawanan” hanyalah mitos.
Wulan/Editor