Foto MK
(SPNEWS) Jakarta, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang dimohonkan oleh Muhammad Hafidz. Sidang pengucapan Putusan Nomor 94/PUU-XXI/2023 ini digelar di MK pada Kamis (29/2/2024) dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan hakim konstitusi.
“Amar Putusan, mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk Sebagian. Menyatakan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha,” kata Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 94/PUU-XXI/2023.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, MK menyatakan dihapusnya Pasal 171 UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 63 UU 6/2023 adalah untuk menghilangkan adanya pengaturan daluarsa dalam 2 (dua) undang-undang, yaitu UU 13/2003 dan UU 2/2004, sehingga pembentuk UU 6/2023 dalam Pasal 81 angka 63 UU 6/2023 menghapus Pasal 171 UU 13/2003 karena substansinya juga mengatur daluarsa mengajukan gugatan. Pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya”.
“Dengan dihapuskannya norma Pasal 171 UU 13/2003 sandaran hukum daluarsa mengajukan gugatan keputusan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial hanya yang terdapat dalam ketentuan Pasal 82 UU 2/2004. Namun demikian, penghapusan Pasal 171 UU 13/2003 tidak serta merta menjadikan daluarsa pengajuan gugatan keputusan PHK menjadi tidak berlaku seluruhnya. Hal ini sejalan dengan keterangan Presiden yang disampaikan dalam persidangan tanggal 27 November 2023 bahwa penghapusan Pasal 171 UU 13/2003 tidak dimaksudkan meniadakan keberlakuan mengenai daluarsa pengajuan gugatan terhadap keputusan PHK kepada Pengadilan Hubungan Industrial tetapi juga dimaksudkan agar tidak terjadi dualisme pengaturan terkait norma batasan daluarsa pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial,” terang Enny.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, Enny melanjutkan, Mahkamah masih tetap dalam pendiriannya bahwa daluarsa pengajuan gugatan tetap diperlukan agar dapat menyeimbangkan kepentingan pengusaha dan pekerja/buruh. Batasan waktu untuk mengajukan gugatan tersebut, penting artinya demi kepastian hukum yang adil agar permasalahan antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak berlarut-larut karena dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang jelas dan pasti.
Dengan demikian, sambung Enny, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, keberlakuan Pasal 82 UU 2/2004 serta dengan mengingat tidak adanya ketentuan lain yang mengatur mengenai batas waktu daluarsa mengajukan gugatan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), maka Mahkamah menegaskan dalam amar putusan ini bahwa norma Pasal 82 UU 2/2004 yang menyatakan “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”.
“Oleh karena permohonan a quo dikabulkan tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” kata Enny.
Lebih lanjut Enny dalam pertimbangan hukum menyatakan, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, oleh karena UU 2/2004 memiliki keterkaitan dengan berbagai undang-undang di bidang ketenagakerjaan, khususnya UU 13/2003 dan UU 6/2023 serta sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi maka untuk menciptakan harmonisasi antar undang-undang dan menindaklanjuti sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi, pembentuk undang-undang perlu segera melakukan peninjauan terhadap UU 2/2004. Hal ini sejalan dengan maksud Pasal 95A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 13/2022).
Hasil peninjauan tersebut akan menjadi bahan untuk mengusulkan perubahan UU 2/2004 dalam Prolegnas. Penegasan ini diperlukan, antara lain sejalan dengan keterangan DPR yang diterima Mahkamah pada 30 Januari 2024, pada halaman 13 yang menyatakan, ”RUU tentang perubahan atas UU 2/2004 sudah masuk menjadi Program Legislasi Nasional sejak periode 2015-2019, dan masuk kembali dalam daftar Prolegnas long list 2020-2024 sebagai usulan DPR. Namun, hingga kini RUU perubahan UU 2/2004 tersebut belum menjadi prioritas sehingga belum dibahas oleh AKD terkait.”
Sementara itu, terkait dengan yang dimintakan Pemohon agar frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU 2/2004 dimaknai “putusan Pengadilan Hubungan Industrial selain menghukum pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara wajib pula untuk menetapkan pihak lainnya yang menerima pembayaran biaya perkara sebagai pengganti panjar biaya perkara yang telah dibayarkan terlebih dahulu”, dikarenakan seringkali dalam amar putusan terhadap gugatan perselisihan hubungan industrial tidak disebutkan pihak yang dituju untuk menerima biaya perkara apabila Pengadilan Hubungan Industrial mengabulkan sebagian atau seluruhnya gugatan perselisihan hubungan industrial, termasuk pihak lainnya yang menerima pembayaran biaya perkara sebagai pengganti panjar biaya perkara yang telah dibayarkan terlebih dahulu.
Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Mahkamah, persoalan yang dimaksud oleh Pemohon sesungguhnya berkaitan dengan amar putusan dari lembaga pengadilan dan bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sebab, panjar biaya perkara yang dibayarkan oleh Penggugat sesungguhnya digunakan untuk pembiayaan proses penyelesaian perkara bukan dimaksudkan sebagai biaya yang disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak, kecuali jika terdapat sisa dari pembiayaan proses penyelesaian perkara dikembalikan kepada Penggugat.
Oleh karena itu, tidak ada relevansinya untuk melibatkan pihak lain sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Terlebih, terhadap gugatan yang dikabulkan, biaya yang dikeluarkan Penggugat akan dikembalikan dari hasil eksekusi yang dibayarkan oleh pihak Tergugat sepanjang hal tersebut ditegaskan dalam amar putusan dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan pasca eksekusi putusan. Terlebih lagi, persoalan yang didalilkan Pemohon merupakan implementasi norma. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU 2/2004 inkonstitusional jika tidak dimaknai “putusan Pengadilan Hubungan Industrial selain menghukum pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara wajib pula untuk menetapkan pihak lainnya yang menerima pembayaran biaya perkara sebagai pengganti panjar biaya perkara yang telah dibayarkan terlebih dahulu” adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 94/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Muhammad Hafidz. Adapun norma yang dimohonkan untuk diuji di MK yaitu Pasal 82 dan frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU PPHI.
Selengkapnya Pasal 82 UU PPHI menyatakan, “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”.
Kemudian Pasal 97 UU PPHI menyatakan, “Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Rabu (6/9/2023), Pemohon menerangkan bahwa pengaturan masa daluwarsa satu tahun atas gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagaimana diatur dalam pasal 82 UU PPHI adalah untuk alasan PHK yang dimaksud pada Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 58 UU PPHI menyebutkan, proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial tidak dikenakan biaya yang nilai gugatannya di bawah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Apabila Pemohon hendak mengajukan gugatan perselisihan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan nilai gugatan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebesar Rp330.249.400,00 (tiga ratus tiga puluh juta dua ratus empat puluh sembilan ribu empat ratus rupiah), maka Pemohon akan dikenakan biaya perkara yang besarannya telah ditetapkan oleh Pengadilan sebagai panjar biaya perkara.
Setelah Pemohon membayar panjar biaya perkara, kemudian terhadap gugatan Pemohon lalu oleh Pengadilan Hubungan Industrial dijatuhkan putusan yang mengabulkan gugatan Pemohon dan menetapkan kewajiban pengusaha untuk membayar hak-hak Pemohon, sehingga pengusaha berada pada pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara karena nilai gugatannya di atas Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Setelah putusan Pengadilan Hubungan Industrial berkekuatan hukum tetap dan pengusaha bersedia secara sukarela melaksanakannya, akan tetapi yang dilaksanakan hanyalah membayar hak-hak Pemohon berupa uang kompensasi PHK. Padahal, pengusaha sebagai pihak yang kalah juga dihukum untuk membayar biaya perkara, namun pengusaha tidak bersedia membayar atau mengganti biaya perkara yang pada saat gugatan diajukan telah dibayar oleh Pemohon sebagai Penggugat dalam bentuk panjar biaya perkara.
Oleh karena itu, dalam petitum, Pemohon MK menyatakan Pasal 82 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai, putusan Pengadilan Hubungan Industrial selain menghukum pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara wajib pula untuk menetapkan pihak lainnya yang menerima pembayaran biaya perkara sebagai pengganti panjar biaya perkara yang telah dibayarkan terlebih dahulu.
SN 09/Editor