(SPNEWS) Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melarang ekspor bahan baku minyak goreng atau crude palm oil (CPO) dan minyak goreng dalam rapat bersama menterinya. Larangan yang mulai berlaku pada Kamis (28/4) itu dimaksudkan agar pasokan minyak goreng dalam negeri melimpah dan harganya bisa turun.

“Dalam rapat saya putuskan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis, 28 april 2022 sampai batas waktu yang ditentukan,” katanya Jumat (22/4/2022) lalu.

Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai keputusan tersebut justru tidak menyelesaikan masalah yang ada. Menurutnya, larangan ekspor ini seperti mengulang kesalahan pemerintah yang memberhentikan ekspor komoditas batu bara pada Januari lalu.

“Apakah masalah selesai? Kan tidak, justru diprotes oleh calon pembeli di luar negeri. Cara-cara seperti itu harus dihentikan,” kata Bhima.

Ia menambahkan, kebijakan Jokowi justru akan menguntungkan negara lain yang juga merupakan produsen minyak sawit, seperti Malaysia. Tak hanya itu, Indonesia juga berpotensi kehilangan devisa ekspor senilai US$3 miliar devisa negara atau setara dengan Rp43 triliun lebih (kurs 14.436 per dolar AS).

“Selama Maret 2022 ekspor CPO nilainya US$3 miliar. Jadi estimasinya Mei, apabila asumsinya pelarangan ekspor berlaku 1 bulan penuh, [Indonesia] kehilangan devisa sebesar US$3 miliar. Setara 12 persen total ekspor non migas,” kata dia.

Bhima mengatakan yang perlu dilakukan Jokowi cukup mengembalikan kebijakan DMO CPO 20 persen dari total produksi.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan seharusnya pemerintah cukup membatasi dan bukan melarang. Menurutnya, selama ini konsumsi CPO dalam negeri hanya sekitar 6 hingga 7 juta ton.

“Konsumsi dalam negeri hanya 6 juta ton-7 juta ton, tapi 30 jutaan ton dilarang ekspor mau dikemanakan? Busuk dong?” ujarnya.

Tauhid menyebut, kebijakan tersebut juga akan merugikan petani CPO. Jika tak boleh diekspor, maka mereka akan kehilangan pasar karena mayoritas produksi RI diekspor.

“Siapa yang beli? Kita punya jutaan petani yang harus bergantung ke pasar ekspor,” kata dia.

Baca juga:  SP/SB DI JAWA BARAT AKAN GUGAT SK UMK 2019

Ia memproyeksikan harga CPO bakal turun usai kebijakan diimplementasikan. Namun, harga CPO internasional lah yang bakal melonjak beberapa kali lipat.

Konsekuensinya, negara mitra dagang RI bakal protes. Bahkan, bukan tak mungkin mereka akan membalas larangan ekspor tujuan Indonesia.

“Misalnya industri kita butuh besi baja, mereka enggak akan ekspor, gimana? Dibales, pasti diancam juga sama,” kata Tauhid.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) total ekspor CPO dan turunannya sudah mencapai 2.771.294 ton selama 14 Februari hingga 8 Maret 2022. Adapun porsi DMO untuk kebutuhan industri dalam negeri mencapai 573.890 ton. Data BPS menyebutkan selama Januari – Maret 2022 nilai ekspor kelapa sawit mencapai US$6,15 miliar. Belum ada penjelasan lebih lanjut dari pemerintah soal alokasi ekspor CPO ini usai pelarangan.

Sementara itu, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai larangan ekspor 20 persen saja sebenarnya sudah cukup agar minyak goreng membanjiri pasar. Oleh karena itu, ia menyebut larangan tersebut sebagai kebijakan yang ‘mubazir’.

“Secara politik bagus, tapi untuk apa? Kalau dilarang total terserap semua? 20 persen saja DMO kalau itu terdistribusi ke masyarakat, itu sudah banjir lautan minyak goreng,” kata Tulus.

Menurutnya, kebijakan Jokowi itu lebih banyak dampak negatifnya daripada positif. Toh, kebijakan belum tentu menurunkan harga minyak goreng di pasaran. Yang ada, kebijakan tersebut justru berpotensi menutup pendapatan negara dari devisa ekspor.

Selain itu, Indonesia juga berisiko mengalami perang dagang dengan negara lain. Sebab, larangan tersebut akan membuat negara lain protes keras mengingat Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia, dan pasokan internasional sudah terganggu akibat perang Ukraina-Rusia.

Segendang sepenarian, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta Jokowi untuk mengevaluasi larangan ekspor CPO. Evaluasi perlu dilakukan jika kebijakan tersebut terbukti memberikan dampak negatif terhadap pengusaha kelapa sawit.

“Jika kebijakan ini membawa dampak negatif kepada keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit, kami akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut,” ungkap Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi.

GAPKI meminta seluruh pemangku kepentingan di industri sawit untuk ikut memantau dampak dari kebijakan tersebut di lapangan.

Baca juga:  PEKERJA PABRIK ROKOK SORGUM TUNTUT PESANGON YANG TIDAK SESUAI

“Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan dalam mata rantai industri sawit untuk memantau dampak kebijakan tersebut terhadap sektor kelapa sawit,” tutur Tofan.

Sementara itu, di kalangan DPR RI kebijakan Jokowi ini menuai pro dan kontra. Anggota Komisi VI DPR Fraksi PPP, Achmad Baidowi mengaku sepakat dengan kebijakan itu.

“Pertimbangan pemerintah kami kira cukup matang dan tidak tergesa-gesa karena risiko inflasi akibat pangan cukup tinggi, dan bisa berdampak pada naiknya jumlah penduduk miskin. Selama pandemi jumlah penduduk miskin telah meningkat menjadi 26,5 juta orang (September 2021),” kata Baidowi.

Menurutnya, larangan ekspor itu hanya diberlakukan untuk RBD olein atau bahan baku minyak goreng, sementara produk turunan CPO lain tidak dilarang.

“Selama ini, RBD olein menjadi bahan baku minyak goreng curah, minyak goreng kemasan sederhana, dan kemasan premium. Pengusaha masih bisa leluasa mengekspor produk CPO selain RBD olein,” ujarnya.

Sebaliknya, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan moratorium atau pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng.

Menurutnya kebijakan tersebut bisa merugikan petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng. Menurutnya keputusan pemerintah melakukan moratorium ekspor CPO dan minyak goreng tepat jika dilakukan dalam jangka waktu pendek.

Hal itu bisa dipahami sebagai langkah untuk memastikan melimpahnya pasokan di dalam negeri dan turunnya harga di tingkat domestik. Namun jika dilakukan dalam jangka panjang, kebijakan itu bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, termasuk industri minyak goreng dan merugikan petani petani kecil. Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng.

“Perlu diingat bahwa sekitar 41 persen pelaku industri sawit adalah rakyat kecil. jadi ini menyangkut jutaan orang dan mereka yang pertama akan menderita akibat kebijakan tersebut,” kata Deddy.

SN 09/Editor