Hasil riset membuktikan bahwa di perkebunan sawit masih terjadi praktek-praktek yang melanggar HAM
(SPN News) Pontianak, Direktur Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo Agus Sutomo menganggap praktek-praktek perburuhan zaman kolonial Belanda masih terus berjalan hingga kini, terutama di sektor perkebunan sawit. Praktek-praktek korporasi jauh dari penghargaan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) sering menjadi temuan di lapangan.
“Kerja-kerja di zaman kolonial masih dipakai dalam membangun perkebunan sawit skala besar,” ungkapnya, (15/8/2018).
Berdasarkan pemetaan, secara umum problem perburuhan sektor perkebunan sawit terjadi di tingkat nasional maupun internasional. Ia mencontohkan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang masuk kategori perkebunan sawit tertua di Indonesia juga tidak terlepas dari masalah begitu banyak dan besar.
“Di Sumatera Utara itu perkebunan sawit tertua sekitar 111 tahun. Di zaman kolonial, dulu pernah ada problem pembukaan lahan yang serabutan. Buka perkebunan sawit 5 ribu hektare dari Sumut sampai ke Malaysia dengan cara membakar, lalu masyarakat yang dituduh,” terangnya. Hal paling mendasar di sektor perkebunan sawit saat ini adalah soal hak-hak kesejahteraan para buruh yang belum dipenuhi.
“Buruh di zaman kolonial Belanda sistemnya kerja paksa tanpa diberi upah. Sekarang, buruh diberi upah tapi rendah. Tidak ada jaminan apapun dan terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sama saja sebenarnya,” imbuhnya.
Ia mengatakan kenyataan upah rendah, tidak adanya jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan dan tidak dipenuhinya hak-hak kesejahteraan menandai sistem perbudakan yang tidak berpihak kepada buruh.
“Jika tidak bekerja bisa diintimidasi dan dianggap mangkir. Misalnya, ada kesalahan brodol tidak dipungut maka bisa disanksi. Sanksinya denda sekitar Rp 1.000-10.000. Itu dipotong dari upah buruh yang kecil. Jadi, apa bedanya dengan di zaman kolonial. Tetap sama pola itu,” jelasnya.
Ia menegaskan sektor perkebunan sawit punya problem yang sama se-Indonesia. Khusus Kalbar, kata Tomo, termasuk paling parah lantaran beberapa dinas terkait sektor perburuhan atau tenaga kerja tidak proaktif. Ia berharap ada pembenahan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
“Menyangkut perburuhan itu tidak boleh diputus sebenarnya. Kami yakin kalau tidak ada pengawasan melekat dari tingkat Provinsi atau kabupaten/kota, maka Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) kabupaten/kota indikasinya bisa bermain lho dengan pihak perusahaan. Kita menemukan hal itu di lapangan, saya tidak perlu sebut nama perusahaannya. Ketika masyarakat punya soal dan menyampaikan ke Disnaker, Disnaker mengatakan perusahaan sudah ikuti aturan,” tukasnya.
Shanto dikutip dari berbagai sumber/Editor