Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, UU Cipta Kerja membagi PHK alasan efisiensi menjadi 2 jenis yakni karena merugi dan mencegah terjadinya kerugian. Besaran kompensasi pesangon PHK dengan alasan efisiensi sesuai UU Ketenagakerjaan jumlahnya lebih besar daripada yang diatur UU Cipta Kerja.

Pengaturan kompensasi pesangon dalam UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah diubah melalui UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam PP No 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK).

Decara umum UU Cipta Kerja dan PP No 35/2021 lebih memberi kemudahan bagi perusahaan melakukan PHK ketimbang UU Ketenagakerjaan. PP No 35/2021 mengatur pengusaha menyampaikan pemberitahuan PHK dalam bentuk surat dan disampaikan secara sah dan patut kepada pekerja dan/atau serikat pekerja paling lama 14 hari kerja sebelum PHK. Jika pekerja setuju, PHK dapat dilakukan. Tapi, jika pekerja menolak PHK, harus membuat surat penolakan disertai alasannya paling lama 7 hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan tersebut. Sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan PHK harus melalui penetapan di pengadilan hubungan industrial.

Ada banyak alasan yang bisa digunakan pengusaha sebagai dalih melakukan PHK, salah satunya alasan efisiensi. Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa (force majeure). Buruh berhak mendapat pesangon 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2); uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3); dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Baca juga:  DPK JEPARA MASIH BELUM SEPAKAT TENTANG KENAIKAN UMK 2020

Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengatur alasan PHK karena perusahaan tutup bukan karena kerugian 2 tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeure), tapi perusahaan melakukan efisiensi. Buruh berhak atas pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2); uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3); dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4).

Tapi ketentuan PHK dengan alasan efisiensi itu telah diubah dalam UU Cipta Kerja dan PP No.35 Tahun 2021. Juanda menyebut PHK dengan alasan efisiensi sebagaimana diatur Pasal 43 PP No.35 Tahun 2021 dibagi menjadi 2 jenis. Pertama, efisiensi karena perusahaan mengalami kerugian dan buruh berhak mendapatkan uang pesangon sebesar 0,5 kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Kedua, efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian. Pekerja yang mengalami PHK karena alasan ini mendapat uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 40 ayat (4).

Baca juga:  KEMENAKER SEDANG MENGKAJI SKEMA PENDANAAN PELATIHAN DAN TUNJANGAN PHK

Bila dihitung-hitung, kata Juanda, besaran kompensasi PHK dengan alasan efisiensi sesuai UU Ketenagakerjaan jumlahnya lebih besar daripada yang diatur UU Cipta Kerja. Selain jumlah perkaliannya berkurang dalam menghitung uang pesangon, UU Cipta Kerja juga memangkas pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15 persen yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Bagi buruh yang keberatan dengan PHK karena alasan efisiensi ini, Juanda mengatakan upaya yang bisa ditempuh melakukan perundingan bipartit. Jika tidak selesai di tingkat bipartit dapat mengajukan mediasi ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Nantinya, Mediator akan menerbitkan anjuran agar dilaksanakan para pihak. Bila ada yang tidak sepakat, maka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.

Bisa saja pengusaha memberikan besaran kompensasi PHK lebih besar dari yang sudah ditetapkan dalam peraturan. Upaya itu bisa dilakukan melalui negosiasi antara kedua belah pihak. Bisa juga perusahaan menerapkan kompensasi PHK di atas ketentuan dalam UU dengan mengaturnya dalam peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB).

Perubahan Pasal 185 UU Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja mengatur pidana bagi pengusaha yang tidak membayar kompensasi pesangon yakni penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun. Syaratnya, harus ada putusan terkait PHK yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan ini menjadi landasan menjerat hukuman pidana jika pengusaha tidak membayar kompensasi pesangon.

 

SN 09/Editor