(SPN News) Peringatan hari buruh internasional baru saja kita lewati. Banyak hal yang dilakukan dalam memperingati hari buruh atau May Day tersebut, ada yang melakukan aksi demonstrasi, dialog sosial, bakti sosial, bahkan ada yang merayakannya dengan panggung hiburan dan bagi – bagi hadiah bersama LKS Tripartit di masing – masing daerah. Tentu saja yang disebut terakhir itu bagi aktivis – aktivis buruh adalah merupakan pengingkaran dari makna perjuangan burub itu sendiri, karena sejatinya masih banyak pelanggaran dan praktek ketidakadilan yang diterima oleh mayoritas buruh, seperi upah yang tidak adil, jaminan sosial, jaminan perlindungan hukum dan lain – lainnya.
Dalam peringatan May Day 2019 isu Upah Murah dan Jaminan Sosial masih menjadi isu yang utama karena dua hal tersbut menjadi hal yang berdampak langsung bagi kehidupan buruh. Soal upah tentu saja nyata sebab upah murah memang andalan Indonesia untuk menggaet investor asing dan bahkan andalan daerah – daerah di Indonesia bersaing diantara provinsi atau Kabupaten/Kota.
Persoalannya adalah selama hampir 32 tahun Orde Baru berkuasa dan 21 tahun pasca Suharto, artinya 53 tahun lamanya, bangsa ini mengandalkan upah buruh murah sebagai “comparative advantage” dalam pembangunan. mereka ikut membangun pabrik-pabrik besar, jalan, jembatan, perkebunan, pertambangan, komunikasi dan sektor lainnya, mereka tetap menjadi buruh miskin yang terus menerus diwariskan lintas generasi. Hal ini dapat dilihat Gini rasio kita yang bergeser dari seputar 0,3 awal industrialisi menjadi sekitar 0,4 saat ini. Yang kaya makin kaya, yang miskin tetap bekerja lelah.
Elit-elit kapitalis yang mengendalikan negara, secara umum bekerja mengendalikan upah. Buruh harus terus hidup dalam jeratan upah murah. Sehingga buruh tidak mempunyai “bargain” politik “sharing power” menentukan pembangunan, khususnya bagaimana mengendalikan investasi (uang) yang menciptakan uang lebih besar. Buruh harus diperangkap dalam diskursus upah minimum.
Kapitalis harus memproduksi sistem perburuhan sebagai berikut :
1. Flexibility Labor Market. Fleksibilitas pasar ketenagakerjaan harus dikontrol agar tidak ada istilah kerja tetap. Atau dikendalikan dalam batas 30%. Selebihnya hubungan majikan dan buruh harus bersifat tidak tetap, yakni kontrak waktu tertentu (PKWT) dan Outsourcing. Dengan demikian upah buruh tidak menjadi fix cost melainkan variabel cost, dalam jangka panjang.
Fleksibilitas ini menghindari buruh masuk dalam kumpualan serikat buruh, menghindari tanggung jawab perusahaan yang bersifat permanen dan membuat hubungan majikan vs. buruh bersifat impersonal.
2. Minimum Wage yang dikontrol. Upah minimum (minimum wage) dalam konsep yang baik adalah sebagai alat redistribusi. Artinya keuntungan ekonomi yang ikut diciptakan buruh dalam dinikmati buruh kembali, dalam bentuk upah yang layak. Namun, dalam perjalanannya, upah minimum telah diperalat kapitalis pemilik modal untuk menjerat buruh pada upah murah yang sah. Sah artinya diakui pemerintah. Mengapa upah murah? Karena upah minimum ini di set sedemikian rupa sehingga nilainya hanya rata2 70% dari kebutuhan riil buruh, apalagi berkeluarga. Dengan demikian, buruh harus menambah jam kerja (lembur) untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya yang pas makan.
3. Melemahkan Serikat Buruh. Serikat Buruh harus lemah, sehingga perannya dalam menentukan kebijakan/ hubungan industrial tidak boleh setara dengan majikan. Selain pelemahan via sistem hubungan/ikatan kerja, serikat buruh juga didegradasi dari posisi yang pernah dicapainya pada awal reformasi, yakni kuatnya peran Serikat dalam perjanjian kerja bersama, perlahan pudar saat ini. Tentu saja banyak langkah-langkah penjinakan pimpinan buruh dari pemilik modal maupun via kekuasaan.
Jaminan sosial pun menjadi permasalahan tersendiri. Buruh telah ikut mengiur selama bertahun – tahun bahkan puluhan tahun, tetapi ketika mereka diPHK pelayanan pun langsung hilang. Pemerintah tidak bisa memberikan jaminan bahwa buruh akan mendapatkan pelayanan ketika mereka terkena PHK atau tidak bekerja, dan tidak ada pula jaminan kematian atau pun kecelakaan begitu setelah mereka terPHK.
Oleh karena itu buruh membutuhkan keberpihakan dari pemerintah agar mereka memiliki jaminan upah yang berkeadilan, jaminan sosial ketika mereka tidak bekerja, karena pastinya buruh tidak akan melakukan aksi unjuk rasa apabila hak – hak mereka telah terpenuhi dengan baik.
SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor