​Pekerja perempuan harus berani meminta hak – haknya agar dipenuhi

(SPN News) Jakarta, emansipasi membuat posisi perempuan dengan laki – laki setara, termasuk dalam pekerjaan. Meskipun seorang perempuan bisa melakukan pekerjaan yang laki – laki  lakukan dengan sempurna atau bahkan lebih baik, pada kodratnya perempuan tetaplah perempuan.

Bagaimana tidak, seorang perempuan pasti akan mengalami masa hadi, mengandung, melahirkan, dan menyusui, yang seharusnya diperhatikan oleh pihak perusahaan. Pasalnya, walaupun wanita kerap dianggap lemah, namun keberadaan pekerja perempuan berperan sebagai penentu alokasi pangan, penentu budaya konsumsi keluarga, pendidik, panutan, perawat, dan pemelihara.

Namun, bagaimana jika masih ada perusahaan yang belum memberikan hak-hak cuti pada pekerja perempuan?

“Jika ada hak pekerja perempuan yang tidak dipenuhi dan ada pengaduan yang sampai di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), kami akan menegur perusahataan terkait. Walaupun itu menjadi tugas Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), tapi kami akan memberikan surat pada perusahaan tersebut, agar hak-hak pekerja perempuan terpenuhi,” ucap Prof. dr. Vennetia. R. Danes, MSc., PhD, Deputi Bidang

Baca juga:  SPN TINDAK LANJUTI PENGADUAN THR KE KEMENAKER

Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, dalam acara Temu Media Peningkatan Kualitas Kesehatan Pekerja Wanita untuk Wujudkan Keluarga Sehat, di Gedung Adhyatma, Kementerian Kesehatan, Jakarta, (20/4/2018).

Menambahkan pernyataan dr. Vennetia, Direktur Kesehatan dan Olahraga Kementerian Kesehatan, drg. Kartini Rustandi, M. Kes, mengatakan, biasanya sudah ada cuti haid, tapi justru tidak ambil oleh pekerja perempuan.

“Memang masih banyak yang belum memberi cuti haid, tapi kembali lagi pada pekerja perempuannya, karena kalau cuti nanti gajinya akan dipotong, jadi mereka tetap masuk dan tidak cuti haid,” sambungnya.

Lebih lanjut, drg. Kartina menyambungkan, keberanian dari diri perempuan dan cara menghargai juga penting. Sebab, terkadang perempuan menyepelekan hal yang menjadi kebutuhannya sendiri.

“Menghargai diri sendiri kadang-kadang kurang. Seperti contohnya cuti melahirkan itu seharusnya yang ada di aturan satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu bulan setengah setelah melahirkan. Tapi, yang terjadi apa? Semua mintanya cuti di akhir, alasannya saya ingin dekat dengan anak, padahal aturan satu setengah bulan sebelum melahirkan adalah mempersiapkan kondisi si ibu untuk siap melahirkan, karena melahirkan itu pertarungan,” sambungnya.

Baca juga:  KETERANGAN PEMERINTAH DALAM SIDANG PENGUJIAN PERPPU CIPTA KERJA

Tujuan diberlakukannya peraturan cuti melahirkan tersebut, menurut pemaparan drg. Kartini, agar pekerja perempuan benar-benar mempersiapkan persalinannya.

“Apalagi anak pertama yang sakitnya bisa dua hari, kalau ibu masih bekerja lalu mendadak melahirkan, apakah akan kuat saat melahirkan? Kita sendiri kadang-kadang tidak menghargai diri kita sendiri, khususnya para perempuan,” lanjutnya.

“Perempuan juga yang terkadang mengexcuse dirinya untuk lembur, ‘nggak apa-apa deh saya lembur sampai malam’, padahal ada saat kita harus mengatakan ‘Badan saya tidak memungkinkan’, karena biasanya tubuh kita ada warningnya. Kita sudah ingatkan Perdoki (Persatuan Dokter Okupasi yang membawahi dokter perusahaan), tolong kalau pekerja perempuan perlu cuti haid agar diberikan,” imbuhnya.

Selain itu, Kementerian Kesehatan juga telah mengingatkan pada Kementerian Tenaga Kerja untuk mengawasi implementasi pemberian cuti haid.

“Kita perempuan juga harus berani mengatakan jika ‘Saya memerlukan cuti haid’,” pungkasnya.

Shanto dikutip dari Okezone.com/Editor