Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah tempatnya buruh untuk berkumpul, berdiskusi, mendidik diri, membangun kekuatan, mengadvokasi kasus-kasus hubungan kerja, dan memajukan organisasinya. Melalui serikat, secara bersama-sama, buruh mulai belajar membangun sebuah tradisi kolektif dan membuat target-target untuk pencapaian tujuan organisasi.
Dalam menjalankan organisasi, serikat buruh membutuhkan biaya untuk pembuatan kartu anggota, penggandaan surat menyurat, membayar sewa kantor sekretariat, bayar listrik, dana mogok, membuat koran/selebaran suara buruh, dan membayar fulltimer bagi buruh yang sebagian besar waktunya bekerja untuk serikat. Karena serikat buruh itu organisasi kolektif, dana tersebut didapat dari iuran anggota dan ini menjadi dana utama serta sumbangan tak mengikat.
Iuran adalah modal pergerakan bagi SP/SB, Semaoen dalam Penuntun Kaum Buruh bahkan mengatakan: “Berani membayar iuran yang besar berarti berani untuk memerdekakan kaum buruh atau serikat buruh.” Selain secara eksternal serikat buruh dihadapkan pada persoalan perburuhan (advokasi kasus, pemogokan), serikat buruh juga – sadar atau tidak – menghadapi hambatan dari internal, yakni persoalan yang dianggap remeh-temeh, yakni mulai tidak disiplin dalam iuran sampai dengan penyelewengan uang iuran/korupsi.
Dalam SP/SB, baik yang sudah lama berdiri dan mempunyai banyak anggota, maupun serikat buruh yang relatif baru dan jumlah anggotanya kecil, seringkali persoalan telat dalam membayar iuran, atau tidak membayar iuran, seringkali menjadi hal yang lumrah, dimaklumi, biasa dan bahkan menjadi kebiasaan. Persoalannya bukan pada poin “belum ada duit”, karena bukan ini hal yang kita bahas. Perilaku umum SP/SB baik anggota maupun pengurusnya, sering memaklumi tindakan-tindakan mulai dari menunda membayar iuran (padahal sudah ada duit, tetapi enggan segera membayar) sampai tidak membayar iuran dengan banyak dalih. Lalu, kalau ini menjadi kebiasaan, bagaimana dengan jalannya organisasi serikat buruh dan capaian-capaiannya?
Tidak disiplin dalam membayar iuran, karena sengaja menunda padahal uang ada atau hanya karena malas menyetor atau tidak membayar iuran sama sekali, adalah pangkal dari korupsi. Baik anggota maupun pengurus yang mentradisikan tindakan ini, sedikit demi sedikit tengah mengkorupsi “modal pergerakan dan kekuatan” dari jalannya organisasi itu dan memberikan beban serta tanggung jawab tambahan kepadanya.
Selain tidak disiplin soal iuran, tidak disiplin dalam melaporkan penggunaan uang kas, uang aksi mogok dll adalah bagian dari ‘”korupsi kecil” (sepanjang ini luput karena tidak ada pengawasan), lebih-lebih jika uang tersebut dipakai untuk keperluan pribadi, hal tersebut adalah nyata sebagai korupsi. Tidak jarang, kita menemui bentuk pemakluman-pemakluman soal penggunaan uang oleh pengurus atau anggota diluar kebutuhan rill organisasi. Misalnya, SP/SB membuat buku AD ART atau buku saku dengan harga solidaritas Rp 10.000,-.. Biasanya, akan dipilih orang-orang yang bertanggung jawab untuk distribusi buku AD ART atau buku saku tersebut, sekaligus bertanggung jawab tentang keuangannya. Namun, pada saat pelaporan berapa jumlah buku AD ART atau buku saku yang sudah didistribusi sekaligus keuangan, hanya disetor 50%, tidak sampai 100%, atau bahkan tidak disetor sama sekali, dengan alasan, terpakai untuk kebutuhan ini-itu, berniat meminjamnya dahulu dan berjanji mengembalikan. Karena kenal, sesama kawan di SP/SB, maka diiyakan saja oleh kawan yang lain.
Ini bukanlah masalah, bahkan jika ada kawan dalam SP/SB yang benar-benar sedang kesulitan, maka kawan-kawan buruh yang lainnya pun wajib membantunya, selama hal ini diinformasikan kepada pengurus yang bertanggung jawab dalam organisasi biasanya bagian keuangan akan mencatatnya sebagai bukti, setelah sebelumnya meminta pendapat kawan-kawan anggota yang lain. Bagian keuangan masih punya tanggung jawab agar dikemudian hari bisa meminta untuk menyelesaikan uang buku AD ART atau buku saku tersebut karena ini adalah uang organisasi.
Namun, tidak jarang, tindakan memakai uang organisasi seringkali berujung pada tidak kembalinya uang tersebut. Bisa saja, karena pemakluman-pemakluman yang sudah biasa tadi, perilaku yang sama pun akan terulang kembali, tidak satu dua kali terjadi, melainkan terus menerus. Tugas bagian keuangan SP/SB mengurus dengan baik segala urusan tentang keuangan organisasi, dengan menyediakan buku-buku untuk mencatat seluruh uang yang dipegangnya. Selain buku kas, buku setoran, dan buku tunggakan iuran, semua pengeluaran harus disertai dengan bukti kuitansi, dan melaporkannya dalam rapat sebulan sekali.
Dalam Penuntun Kaum Buruh, sekali lagi Semaoen mangatakan: “Sudah pasti semua pergerakan memiliki aturan tertentu untuk mengamati atau mengawasi langkah-langkah gerakan. Siapa yang harus mengawasi itu? Tidak lain semua anggota, pengurus, dan pengurus besar. Anggota-anggota harus mengawasi apakah pengurus-pengurus cabang dan pengurus besar benar-benar menjalankan kewajibannya, berikhtiar dengan baik dan memperhatikan keperluan para anggota. Dan apa betul mereka mengurus uang organisasi dengan baik.”
Dalam banyak kasus, longgarnya pengawasan dan rasa sungkan antar sesama pengurus sering menjadi penyebab organisasi berjalan tidak seimbang. Bahkan, tidak jarang SP/SB yang lebih dari 10 tahun berdiri, runtuh begitu saja, minimal mengalami kemunduran dan para aktivisnya mengalami disorientasi dalam gerakan. Semuanya bisa ditelisik dari bagaimana SP/SB membangun tradisinya sejak awal. Jika tradisi yang dibangun didalam SP/SB itu rapuh, maka dengan mudah sekali akan runtuh. Ibarat membangun rumah, jika pondasinya tidak kuat, maka dengan mudah akan hancur!
Shanto dikutip dari berbagai sumber/Coed