Ilustrasi
Klaster Pendidikan tetap ada dalam UU Cipta Kerja
(SPNEWS) Jakarta, Bukan hanya kalangan pekerja yang memprotes pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Para pegiat dunia pendidikan juga ramai-ramai menolak UU itu. Sebab, klaster pendidikan yang semula dijanjikan dihapus ternyata dimasukkan lagi.
Pengurus Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS) Darmaningtyas menyatakan, seminggu sebelum UU Cipta Kerja disahkan, pemerintah dan DPR berjanji menghapus klaster pendidikan dalam UU tersebut. “Nyatanya, janji itu tidak tulus dan penuh kebohongan,” cetusnya.
Klaster pendidikan memang tidak terlalu banyak dibahas layaknya klaster ketenagakerjaan. Klaster ini tercantum dalam paragrap ke-12 Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 65. Dalam pasal 65 ayat 1 disebutkan, bahwa pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU ini. Kemudian, untuk ayat 2 berbunyi, ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan peraturan pemerintah.
Sebagai informasi, dalam UU Cipta Kerja pengertian perizinan berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan atau kegiatannya. Definisi ini dimuat dalam pasal 1. Tyas mengungkapkan, keberadaan pasal ini sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Apalagi jika melihat kembali UU 3/1982 pasal 1 tentang wajib daftar perusahaan yang mendefinisikan usaha sebagai tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.
“Jadi kalau pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU ini (Ciptaker, red), berarti menempatkan pendidikan untuk mencari keuntungan,” keluhnya.
Menurutnya, ini sangat bertentangan dengan pembukaan UUD 45 yang menyatakan salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan bangsa. Kemudian dipertegas dalam pasal 31 UUD 45 amandemen yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga negara dan negara wajib membiayai, minimal sampai tingkat pendidikan dasar.
Atas pertimbangan tersebut, Tyas mengaku, pihaknya berencana mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). JR akan langsung dilakukan setelah UU ditandatangani presiden dan diumumkan di lembaran negara. Senada, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo pun menyesalkan munculnya klaster pendidikan yang sebelumnya dijanjikan untuk dicabut. Terlebih, pada pasal 65 UU Ciptaker, pendidikan seolah ditempatkan sebagai komoditas perdagangan.
“Pendidikan bukan barang dagangan (komoditas), pendidikan merupakan hak dasar yang wajib dipenuhi oleh negara,” tegasnya. Sehingga, jika negara melakukan pembiaran dalam bentuk prosedur pengurusan perijinan berusaha maka ini berpotensi menjadi komoditas.
Menurut dia, ketika pendidikan menjadi komoditas maka berpotensi menjadi pasar bebas pendidikan. Yang artinya, anak-anak dari kalangan ekonomi berada akan mendapatkan pendidikan lebih berkualitas. Sementara, anak- anak dari kalangan tidak mampu, pendidikan yang diperoleh tentu berisiko memiliki kualitas rendah karena tidak punya kemampuan melakukan pembiayaan.
“Jika ini terjadi akibat lolosnya pasal 65 UU Cipta kerja maka negara berpotensi membentuk terjadinya bias kompetensi yang semakin lebar,” ungkapnya.
Bias kompetensi ini, lanjut dia, akan menumbuhkan kelompok orang yang berkompetensi tinggi dan linier dengan tingkat kesejahteraan yang diperoleh. Sementara, kelompok orang yang berkompetensi rendah linier dengan tingkat kesejahteraan yang rendah.
“Tentunya efek problem sosial akan semakin tidak berkurang,” sambungnya.
SN 09/Editor