Hal ini dilakukan untuk untuk meminimalisir konflik kepentingan antara BNP2TKI sebagai operator dengan Kemnaker sebagai regulator

(SPN News) Jakarta, Salah satu hal penting yang diatur dalam Undang-undang No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) adalah mempertegas pengaturan fungsi dan wewenang Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
“Undang-undang ini mengamanatkan pembuatan 28 peraturan pelaksana atau peraturan turunan, dimana salah satunya mengenai fungsi dan kewenangan BP2TKI,” kata Staf Khusus Kementerian Ketegakerjaan (Kemnaker) Bidang Urusan Publik, Reyna Usman (1/7/2018)

Reyna mengatakan seperti itu terkait banyak pihak termasuk sejumlah pejabat BNP2TKI mengatakan bahwa sejak awal BNP2TKI berdiri sudah terjadi konflik kepentingan antara BP2TKI dan Kemnaker. Banyak tugas dan wewenang BNP2TKI sebagai operator direbut oleh Kemnaker sebagai regulator.

Sekretaris Utama BNP2TKI sebelumnya, Hermono, menegaskan, banyak sekali tugas dan wewenang BNP2TKI diambil alih Kemnaker. Akibatnya, kata dia, BNP2TKI dengan Kemnaker terus berperang dingin.
“Kemnaker kan regulator tapi banyak tugas dan wewenang BNP2TKI diambil alih,” kata Hermono, yang beberapa pekan lalu dilantik menjadi Duta Besar Indonesia untuk Portugal.

Senada Deputi Perlindungan TKI, BNP2TKI, Anjar Budi Winarso menegaskan, BNP2TKI adalah operator dalam pengurusan TKI, sedangkan Kemnaker adalah regulator. Oleh karena itu, penindakan penampungan TKI ilegal, menindak perusahaan penempatan TKI swasta (PPTKIS) yang melakukan kesalahan adalah tugas dan wewenang BNP2TKI.
“Kita harus ikuti ketentuan undang-undang,” kata dia. Pada kesempatan itu, Anjar berjanji akan menindak semua perusahaan atau siapa saja yang mengirim TKI secara ilegal ke luar negeri. “Kita akan tegas,” kata dia.

Dua pejabat BNP2TKI tersebut tidak berlebihan. Sebab, dalam kajian akademis Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 menyatakan, selama ini memang terjadi “perang dingin” antara BPN2TKI dengan Kemnaker sebagaimana dijelaskan di atas. Untuk itu, dalam UU 18 Tahun 2017 dipertegas. Pasal 46 ayat (2) UU 18 Tahun 2017 menyatakan, tugas pelindungan PMI dilaksanakan oleh Badan yang dibentuk oleh Presiden (ayat 1). Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala Badan yang diangkat oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri (ayat 2).

Beda dengan Pasal 94 ayat (3) UU 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang menyatakan, BNP2TKI merupakan lembaga non departemen yang bertanggung jawab kepada Presiden berkedudukan di Ibukota Negara.

Menurut Reyna, ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU 18 Tahun 2017 akan dijabarkan lebih lengkap dan rinci dalam Peraturan Menteri yang sedang dibuat saat ini. “Saat ini pemerintah sedang serius membuat peraturan turunan dari UU 18 Tahun 2017,” kata dia. Yang akan diatur dalam Peraturan Menteri yang dimaksud, kata dia, adalah perencanaan, organisasi BNP2TKI, pelaksanaan dan pengontrolan atau pengawasan. “Itu semua diatur melalui Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Penataan Birokrasi dan Aparatur Negara,” kata dia. Reyna menegaskan, salah satu keunggulan UU 18 Tahun 2017 dibanding dengan Undang-undang sebelumnya adalah adanya desentralisasi pelayanan pekerja migran Indonesia (PMI) atau TKI.

Baca juga:  PEKERJA HARIAN LEPAS

Peneliti Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan, selama ini eksploitasi terhadap pekerja migran yang sering terjadi akibat dari adanya monopoli peran para pengambil keuntungan secara brutal dan sewenang-wenang dalam penempatan buruh migran. Akibatnya, buruh migran tidak lebih dari sekedar komoditas yang tidak memiliki sisi manusiawi. Itu semua terjadi karena UU yang lama (UU 39/2004) terkesan memberi ruang secara legal untuk terjadinya monopoli dan eksploitasi.

Ruang tersebut melalui UU Perlindungan yang baru, dipersempit dengan menghadirkan layanan terpadu satu atap di tingkat propinsi dan kabupaten, bahkan desa. Karena meski era otonomi daerah dan desentralisasi telah berlangsung lama, tetapi dalam hal perlindungan buruh migran masih sangat sentralistik. Selama ini pemerintah daerah tidak banyak terlibat dan dilibatkan dalam mekanisme perlindungan buruh migran. Hal ini terjadi karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Maka dengan adanya UU 18 Tahun 2017 maka pemerintah daerah harus terlibat dan dilibatkan dalam proses perlindungan pekerja migran.

Di wilayah pertama dimana pekerja migran berasal, yakni desa juga memiliki kewenangan baru sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 42 UU 18 Tahun 2017, yaitu; a) menerima dan memberikan informasi migrasi kepada masyarakat; b) melakukan verifikasi data dan pencatatan calon pekerja migran Indonesia; c) memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan calon pekerja migran Indonesia; d) melakukan pemantauan keberangkatan dan kepulangan pekerja migran Indonesia; dan e) melakukan pemberdayaan kepada calon pekerja migran, pekerja migran dan anggota keluarganya. Sementara kewenangan pemerintah daerah kabupaten/ kota sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU ini meliputi: a) menyosialisasikan informasi migrasi kepada masyarakat; b) membuat basis data PMI; c) melaporkan hasil evaluasi terhadap perusahaan PMI secara periodik kepada pemerintah daerah propinsi; d) mengurus kepulangan PMI dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan ketika PMI menghadapi masalah sesuai kewenangannya. Selanjutnya e) memberikan perlindungan PMI sebelum berangkat dan setelah bekerja di daerah kabupaten/ kota sesuai kewenangannya; f) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon PMI; g) melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi pekerja migran dan keluarganya; h) menyediakan dan memfasilitasi pelatihan vokasi calon pekerja migran yang anggarannya dari fungsi pendidikan; i) mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan pekerja migran;serta j) membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia di tingkat kabupaten/ kota.

Baca juga:  5.826 PEKERJA DI BALIKPAPAN MENGANGGUR KARENA IMBAS PANDEMI COVID-19

Pasal 40 UU 18 Tahun 2017 secara eksplisit diatur tentang tanggung jawab pemerintah daerah provinsi yang meliputi a) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja untuk calon TKI atau calon Pekerja Migran Indonesia (PMI), b) mengurus kepulangan PMI dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan ketika PMI menghadapi masalah. c) Selanjutnya menerbitkan izin perusahaan penempatan dan melaporkan hasil evaluasi terhadap kinerja perusahaan secara berjenjang dan periodik kepada Menteri; d) menyediakan pos bantuan, pelayanan pemulangan dan pemberangkatan; e) menyediakan dan memfasilitasi pelatihan vokasi calon pekerja migran yang anggarannya dari fungsi pendidikan; f) mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan pekerja migran; serta g) membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.

Sejak tahun 2016 sampai 2019, Kemnaker bersama kementerian terkait lainnya membangun 400 Desa Migran Produktif (Desmigratif) sebagaimana realisasi dari Pasal 42 UU 18/2017. Sejak 2012 sampai 2017 pemerintah telah membangun 144 Desmigratif. Selain itu, sampai saat ini pemerintah telah membangun 12 pelayanan satu atap secara kelembagaan di sejumlah provinsi, kabupaten/ kota.

Di Nusa Tenggara Barat (NTB) pelayanan terpadu itu bahkan telah terbentuk sejak tahun 2012. Namun pelayanan tersebut belum berfungsi secara efektif, karena seluruh peran yang ada di bawah payung hukum UU lama menjadi kewenangan swasta atau perusahaan penempatan pekerja migran dan sangat sentralistik. Akibatnya banyak di antara buruh migran selama ini ketika menjalani proses keberangkatan ke luar negeri layaknya orang hilang, termasuk hak-haknya yang semestinya melekat sebagai warga negara. Calon PMI direkrut langsung dari rumahnya, dibawa ke kota besar seperti Jakarta kemudian ditampung di tempat penampungan dan diberangatkan ke luar negeri tanpa ada jejak catatan sejak dari desa.

Begitulah praktik perdagangan manusia berlangsung dengan tameng jasa dan minim penegakan hukum. Palu hakim selama ini tidak banyak diketokkan untuk menghukum pelaku sindikat kejahatan tersebut. Bahkan tidak jarang laporan/ aduan kasus lenyap dan menguap begitu saja meski ini bukan kejahatan dengan delik aduan. Menurut Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Soes Hindharno, sejak awal 2017, Pelayanan Terpadu Satu Atap (LTSA) Mataram (NTB), dikontrol dan pengelolaan bersama Kemnaker. Karena itu pula sejak 2017, dilakukan penyempurnaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia.

Shanto dikutip dari beritasatu.com/Editor