Akhir-akhir ini di beberapa perusahaan melakukan pembayaran pesangon dicicil
(SPN News) Jakarta,Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan proses pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja. UU No 1/2003 tentang Ketenagakerjaan secara jelas menyebut PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. UU Ketenagakerjaan menekankan kepada pengusaha, buruh, serikat buruh, dan pemerintah untuk berupaya mencegah terjadinya PHK. Jika upaya itu tidak berhasil, maksud PHK itu wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat buruh atau dengan buruh jika buruh tersebut tidak menjadi anggota serikat buruh.
Dalam hal perundingan itu tidak menghasilkan persetujuan, UU Ketenagakerjaan menegaskan pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Tapi perlu diingat, penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial itu tidak diperlukan jika para pihak mencapai kesepakatan atau persetujuan terkait PHK.
Praktisi hukum ketenagakerjaan, Juanda Pangaribuan, membeberkan sejumlah tips untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Juanda menyebut penyelesaian perselisihan itu lebih baik diselesaikan di tingkat bipartit yakni antara pengusaha dengan buruh atau serikat buruh. Keuntungan yang diperoleh para pihak antara lain mekanisme penyelesaian bipartit tergolong murah, cepat dan kerahasiaan perkara bisa terjaga.
“Semakin perselisihan ini terekspose keluar, maka akan merugikan karena pihak lain jadi mengetahui perkara perselisihan yang terjadi,” kata Juanda.
Juanda menegaskan mekanisme bipartit itu menjadi tidak produktif jika masing-masing pihak tetap tetap bersikukuh pada pendiriannya. Jika ini yang terjadi, perkara bisa berujung ke pengadilan hubungan industrial (PHI). Resikonya, para pihak harus sabar menunggu hasilnya dan merogoh kocek dalam karena proses ini biayanya tidak murah. Selain itu khalayak umum akan mengetahui perkara perselisihan ini.
UU Ketenagakerjaan mengatur kewajiban bagi pengusaha dalam hal terjadinya PHK yaitu membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Besaran uang pesangon yang diterima pekerja yang mengalami PHK itu dihitung sesuai dengan masa kerja. Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak terdiri atas upah pokok dan segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara langsung mekanisme pembayaran kompensasi pesangon yang dibayar pengusaha kepada buruh. Biasanya, pembayaran kompensasi pesangon itu langsung dibayar sekaligus seluruhnya secara tunai. Tapi dalam praktiknya, ada pengusaha yang membayar kompensasi itu dengan cara diangsur atau dicicil.
Kepmenakertrans No 150 Tahun 2000 tentang Penyelesaian PHK dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian Perusahaan Pasal 33 secara tegas mengatakan bahwa pembayaran pesangon harus dilakukan secara tunai, selain itu pembayaran pesangon secara tunai sudah menjadi kebiasaan.
Ketua DPP SPN Bidang Advokasi Djoko Heriono S.H mengatakan “jika putusan PHK disepakati melalu bipartit maka kesepakatan tersebut wajib dicatatkan maka jika perusahaan tidak membayar tunai bisa diajukan eksekusi oleh pengadilan.
Ahli hukum ketenagakerjaan Universitas Airlangga Surabaya, M. Hadi Subhan, menekankan pada prinsipnya pembayaran kompensasi pesangon harus dilakukan sekaligus secara tunai. Untuk tata cara pembayarannya bisa dirundingkan apakah melalui mekanisme transfer ke rekening bank atau yang lain. Menurut Subhan PHK harus dibayar sekaligus secara tunai karena itu merupakan hak pekerja. Tapi boleh saja pembayaran dilakukan dengan cara diangsur, tapi harus ada kesepakatan dengan pekerja. “Jika pekerja tidak mau dicicil maka pesangon itu harus dibayar langsung secara tunai karena pesangon muncul ketika PHK terjadi,” paparnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Agusmidah, mengatakan secara normatif pembayaran pesangon harus dilakukan secara tunai. Pembayaran bisa dilakukan dengan cara diangsur jika pekerja sepakat. Sebaliknya, jika pekerja tidak mau dicicil, pengusaha harus membayar pesangon itu secara tunai. Jika kemudian pengusaha tidak mau membayar pesangon maka bisa berlanjut menjadi perselisihan.
“Kalau pekerja tidak mau dibayar dengan cara dicicil, perusahaan wajib patuh pada norma (membayar tunai,-red). Jika itu tidak dilakukan pekerja dapat mengadukan ke mediator dinas ketenagakerjaan,” pungkas Agusmidah.
Shanto dikutip dari berbagai sumber/Editor