Ilustrasi unjuk rasa SP/SB
(SPNEWS) Jakarta, Pekerja usia muda diyakini semakin malas untuk bergabung sebagai anggota serikat pekerja. Disrupsi industri digital dan tren hubungan kerja yang fleksibel menjadi faktor yang melatarbelakangi.
”Semua pekerja, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, berhak memiliki serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB). Masalahnya, sistem bekerja saat ini berbeda dengan kerja konvensional. Metode perekrutan ataupun penilaian kinerja karyawan sekarang mulai dipengaruhi oleh teknologi digital,” ujar Analisis Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, (8/1/2024), di Jakarta.
Penduduk bekerja usia muda yang sekarang semakin mendominasi pasar kerja, kata dia, cenderung lebih menyukai hubungan kerja yang tidak mengikat mereka. Padahal, berjalannya SP/SB membutuhkan pekerja yang memiliki majikan tetap agar dapat diajak berunding.
Rekson menambahkan, SP/SB perlu mereformasi diri agar relevan dengan pasar tenaga kerja yang semakin didominasi dengan pekerja sektor jasa dan teknologi informasi. Pertama, federasi memerlukan SP/SB khusus pekerja jasa dan teknologi informasi. Kedua, cara rekrutmen dan advokasi anggota SP/SB diubah menjadi lebih menggunakan media digital.
Sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), jumlah konfederasi serikat SP/SB saat ini mencapai sekitar 21 konfenderasi, federasi SP/SB berjumlah 197 federasi, dan SP/SB mencapai 12.346 serikat. Total pekerja yang bergabung tercatat sekitar 4 juta orang.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik pada Agustus 2023, jumlah penduduk bekerja sebanyak 139,85 juta orang. Jumlah ini naik 4,55 juta orang dari Agustus 2022.
Dari total penduduk bekerja tersebut, 40,89 persen bekerja di sektor formal dan 59,11 persen di sektor informal.
Menurut aktivis buruh Kokom Komalawati, jumlah konfederasi, federasi, dan SP/SB setiap tahun cenderung naik. Adanya perpecahan organisasi mempengaruhinya. Namun, jumlah pekerja yang bergabung dan aktif cenderung turun.
”Tidak ada data valid berapa pekerja, terutama pekerja muda, yang tercatat masuk sebagai anggota dan aktif di SP/SB. Kalaupun ada kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), perubahan jumlah anggota SP/SB seringkali tidak dilaporkan (kepada Kemenaker). Di antara anggota serikat, ternyata adalah pekerja kontrak pun kerap tidak terlapor,” ucapnya.
Kokom juga sependapat dengan Rekson bahwa pada sistem kerja fleksibel yang ditandai dengan hubungan kerja kontrak jangka pendek, keberadaan SP/SB tetap dibutuhkan. Jika tidak, pekerja akan kesulitan memperjuangkan kesejahteraan bila sendiri.
Oleh karena itu, SP/SB yang ada perlu meninjau ulang cara kerjanya. Dia menyarankan agar setiap serikat memikirkan metode perekrutan baru yang lebih sesuai perkembangan industri dan generasi pekerja yang melek digital.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan, Indrasari Tjandraningsih, menyebutkan, kaderisasi dari SP/SB yang ada saat ini masih lemah. Pimpinan konfederasi sampai serikat umumnya diisi oleh orang yang sama.
”Faktor seperti itu membuat bergabung menjadi anggota serikat kurang populer di kalangan pekerja usia muda. Hubungan kerja yang semakin fleksibel juga menuntut pekerja mementingkan terus bekerja dan mengutamakan memperoleh pendapatan (dibanding berserikat),” katanya.
Indrasari menyampaikan, hubungan kerja yang semakin fleksibel, seperti kontrak pendek berkepanjangan, rentan membuat pekerja tidak bisa mengakses upah layak, jam kerja wajar, dan jaminan sosial. Mereka secara individu tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Mereka pun kerap tidak masuk dalam pantauan pemerintah.
SN 09/Editor