Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, sudah sebulan lebih terjadi bentrokan antara tenaga kerja asing (TKA) asal China dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) karyawan PT Gunbuster Nickel Industri (GNI). Peristiwa yang terjadi pada sabtu malam, 14 Januari 2023, telah meninggalkan luka yang mendalam dan telah menguak beberapa fakta.

Ketua Serikat Pekerja Nasional PT GNI Morowali Utara Amirullah bilang, sebelum bentrokan pecah, tepatnya pada 11-14 Januari 2023, sejumlah karyawan tengah melakukan aksi unjuk rasa dan mogok kerja. Aksi protes ini resmi karena sebelumnya Amirullah dan kawan-kawan sudah bersurat kepada perusahaan, Dinas Tenaga Kerja Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Bupati, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

“Jadi bukan bagian dari provokasi, seperti yang disampaikan Pak Kapolri (Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo),” ujar Amirullah, (14/2/2023).

Aksi ini pun protes kedua, setelah sebelumnya pada 22-24 September 2022 beberapa karyawan sempat melakukan hal serupa. Dalam protes perdana itu, para pekerja, terutama TKI, menuntut beberapa hal. Antara lain mendesak PT GNI menerapkan prosedur Keselamatan Kesehatan Kerja (K3), menuntut perusahaan membuat peraturan yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib, menghapus status kontrak pada pekerja Indonesia, dan menghentikan pemotongan upah secara tidak jelas.

Dari empat tuntutan ini, tidak satu pun dikabulkan perusahaan industri smelter nikel ini. Buntutnya malah beberapa pekerja yang terlibat aksi justru mendapat surat peringatan (SP) dan ada pula yang diputus kontrak secara sepihak.

“Karena tidak ada hasilnya, kami lakukan lagi unjuk rasa dan mogok kerja. Tuntutannya tambah, kami minta agar perusahaan mempekerjakan lagi anggota serikat yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja) setelah aksi September itu,” beber Amirullah.

Di aksi kedua itu, Amirullah sempat berharap banyak setelah mendapat kabar bahwa pada Jumat (13/1), perusahaan setuju melakukan mediasi dengan difasilitasi Dinas Tenaga Kerja Morowali Utara dan kepolisian setempat. Sayangnya, harapan itu kandas karena perusahaan enggan membuat Perjanjian Bersama, sebagai bukti PT GNI merealisasikan tuntutan para pekerja.

“Mediasi ini sama saja enggak ada hasil. Kami minta buat Perjanjian Bersama, tapi mereka cuma mau buat surat pernyataan. Jadilah kami inisiatif melanjutkan aksi,” ungkap Amirullah.

Singkat cerita, pada hari terakhir aksi demonstrasi, tepatnya pukul 14.00 WITA, para pekerja yang sudah lebih dulu melakukan unjuk rasa dan mogok kerja pun mengajak teman-teman pekerja lain untuk bergabung. Namun ajakan ini justru dihalang-halangi oleh beberapa TKA yang bersenjatakan tongkat besi. Gesekan tak terhindarkan. Setidaknya empat orang TKI terluka.

Sampai sekitar pukul 17.00 suasana masih terkendali. Namun, entah sebab apa, bentrokan kembali pecah, yang berujung pada pembakaran mes karyawan dan kendaraan kerja. Amirullah menduga, bentrokan ini terjadi karena para TKI memberikan serangan balasan dari pemukulan yang sebelumnya dilakukan beberapa TKA China.

“Selama ini hubungan kami baik, tidak ada konflik. Mungkin mereka (TKA China) disuruh perusahaan,” jelas laki-laki yang kini sudah tidak lagi bekerja sebagai karyawan PT GNI tersebut.

Kendati memang tidak pernah ada konflik antara TKI dan TKA China, Amirullah mengaku selama ini para pekerja lokal kerap dibuat iri. Bagaimana tidak. Para pekerja lokal selalu merasa perusahaan tidak bisa mengorganisir TKA China dengan baik. Seperti menempatkan TKA di bidang-bidang yang sebenarnya bisa dikerjakan oleh TKI.

Selain itu, upah TKA lebih besar kendati jenis pekerjaan atau jabatan antara TKA dan TKI sama. “Mayoritas dari mereka itu pengawas di lapangan atau foreman. Padahal untuk mengisi posisi ini sebenarnya (pekerja) Indonesia juga bisa,” keluhnya.

Baca juga:  PRODUKTIVITAS PEREMPUAN MENURUN 9 HARI AKIBAT MENSTRUASI

Disinyalir PT GNI terus memelihara kesenjangan antara pekerja pribumi dan asing. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), berdasarkan keterangan beberapa buruh kepada mereka, melihat kesenjangan ketenagakerjaan ini sangat nyata dan jelas.

Contohnya, terkait dengan tenaga kerja dari China dengan gaji dan fasilitas-fasilitas tambahan yang lebih besar dari mayoritas pekerja lokal. “Kesenjangan lain tergambar dari helm yang mereka pakai. Kebanyakan pekerja China pakai helm putih dan merah, sedangkan pekerja lokal pakai helm kuning,” jelas Koordinator JATAM Melky Nahar, saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (16/2).

Helm putih berarti manager, helm merah adalah supervisor, dan helm kuning adalah kru tambang. Melihat respon pemerintah terhadap bentrokan maut ini, Melky menilai pemerintah cenderung acuh tak acuh dan justru sibuk mengambinghitamkan para TKI khususnya serikat pekerja yang melakukan ajakan unjuk rasa dan mogok kerja.

PT GNI merupakan perusahaan pengolahan nikel milik pengusaha asal China, Tony Zhou Yuan, yang berdiri 2019. Perusahaan smelter nikel ini menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia di bidang hilirisasi mineral dan tambang sejak 21 Desember 2021 dengan investasi dana sekitar US$3 miliar untuk membangun smelter di Kawasan Morowali Utara.

“Jadi di sini jelas, kalau respons elite politik dan proses penegakan hukum yang dilakukan, selain menghindari masalah struktural yang rumit, juga cenderung melindungi kepentingan investor daripada hak para buruh, termasuk keselamatan rakyat terdampak dan lingkungan hidup,” kata Melky Nahar.

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi bilang, pelanggaran aturan ketenagakerjaan kerap terjadi lantaran lemahnya pengawasan dari pusat. Di saat bersamaan, pemerintah daerah kerap main mata dengan perusahaan dengan mengutamakan kepentingan mereka ketimbang melindungi pekerja lokal.

Hal ini, kata dia, terlihat dari sikap yang diambil oleh para pemimpin tanah air, Mulai dari Presiden Joko Widodo yang menginstruksikan Kapolri Listyo Sigit agar segera meninda tegas para pelaku kerusuhan, pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang meminta peristiwa bentrok PT GNI tidak digembar-gemborkan hingga Bupati Morowali Utara Delis Julkarson Hehi yang justru sibuk menuduh ada provokator di balik kerusuhan itu.

Pertimbangan pemerintah ialah untuk menjaga iklim investasi tetap kondusif, sehingga terjadi serapan tenaga kerja, devisa, dan pajak. “Semakin tumbuh investasi di Indonesia, jumlah pekerja asing jelas akan makin banyak. Ini di satu sisi baik untuk Indonesia karena bisa menghasilkan tambahan devisa. Kalau investasinya di hilirisasi komoditas, bisa menambah nilai dari komoditas kita. Akhirnya, pendapatan negara akan naik,” kata Tadjudin, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (17/2).

Di sisi lain, kata Tadjudin, bejibunnya investasi itu harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat. Juga harus ada keberpihakan yang jelas kepada tenaga kerja lokal.

Akhir bulan lalu, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengungkapkan, realisasi investasi dari Januari hingga Desember 2022 mencapai Rp1.207,2 triliun, tumbuh 34% dari tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, Rp654,4 triliun di antaranya merupakan penanaman modal asing (PMA). Pada periode itu, realisasi serapan tenaga kerja mencapai 1,3 juta orang.

Jika dilihat dari asal investasi, Singapura meraih peringkat pertama dengan total investasi senilai US$13,3 miliar. Kemudian diikuti oleh China dan Hong Kong yang masing-masing menanamkan modal sebesar US$8,2 miliar dan US$5,5 miliar.

“Investasi memang meningkat, tapi bagi masyarakat terutama pekerja-pekerja di wilayah tempat investasi tersebut akan semakin rentan. Sebab, saat investasi masuk, ada tenaga kerja yang juga dibawa oleh investor,” nilai Tadjudin.

Baca juga:  PANGGILAN SOLIDARITAS UNTUK MINGGU BULU

Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah TKA mencapai 111.537 orang pada 2022. Jumlah ini melonjak 26,36% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 88.271 orang. Jumlah ini merupakan yang tertinggi sejak pandemi Covid-19 dan sejak 2013. Bahkan jumlahnya melampaui tahun 2019, yang saat itu pekerja asing mencapai 109.546 orang.

Secara rinci, dari total pekerja asing di tahun lalu, 54.430 orang di antaranya bekerja di sektor industri, di sektor jasa sebanyak 54.341 orang, serta di sektor pertanian dan maritim 2.766 orang. Dilihat dari level jabatan, jumlah pekerja di level setara dengan profesional mencapai 54.184 orang, manager, dan konsultan masing-masing 23.479 orang dan 23.421 orang. Kemudian, sebanyak 9.686 orang menjabat sebagai direksi di suatu perusahaan, serta komisaris sebanyak 767 orang.

Pekerja dari China diketahui paling banyak di Indonesia, dengan jumlah mencapai 52.973 orang. Disusul kemudian oleh Jepang 11.152 orang, Korea Selatan sebanyak 10.007 orang, India 6.997 orang, dan Malaysi 4.431 orang.

“Kondisi ini menjadi ironis ketika jumlah pengangguran di tanah air juga masih tinggi,” ujar Tadjudin.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengungkapkan, jumlah pengangguran pada 2022 mencapai 8,42 juta, turun dari tahun sebelumnya sebanyak 9,10 juta. Meski turun, sekitar 2,8 juta di antaranya sudah mengalami jobless of job alias pasrah mencari pekerjaan. Tidak hanya itu, mayoritas dari pengangguran yang sudah tidak punya harapan untuk mendapat pekerjaan didominasi oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi, mulai dari SMA, SMK, diploma hingga sarjana.

“Dari jumlah ini, 76,96% dari pendidikan rendah (SD-SMP), sisanya berpendidikan tinggi (SMA/SMK, perguruan tinggi, vokasi). Penyebabnya, karena mahasiswa yang baru lulus sarjana siap pelatihan, bukan siap kerja,” kata Ida, Jumat (20/1) lalu.

Di tengah kondisi seperti itu, Ida pun sadar persaingan antar tenaga kerja di Indonesia semakin sengit. Dengan tumbuhnya investasi asing, pekerja lokal harus bersaing pula dengan tenaga kerja asing. Untuk mengatasi hal itu, Kemnaker berupaya melakukan berbagai hal, salah satunya dengan mengadakan pelatihan berbasis kompetensi kepada para tenaga kerja lokal.

“Kita tidak mungkin menutup pintu untuk tenaga kerja asing. Jadi, yang kita bisa lakukan adalah memberikan pembekalan, pelatihan kepada pekerja lokal agar bisa memenangi persaingan dengan pekerja asing,” ujar Sekretaris Jenderal Kemnaker Anwar Sanusi, kepada Alinea.id, Jumat (17/2).

Di sisi lain, dengan dibukanya bursa tenaga kerja asing di tanah air, diharapkan tidak hanya bisa mengundang investasi di dalam negeri. Melainkan juga sebagai salah satu sarana untuk transfer keahlian oleh pekerja asing kepada pekerja pribumi.

Menurut Tadjudin Noer Effendi, setelah memberikan fasilitas pelatihan kepada calon-calon tenaga kerja, baik pemerintah pusat maupun daerah, harus memastikan penjaminan kesejahteraan para pekerja lokal, terutama pada perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan posisi kuat dalam bentuk status pekerja tetap.

“Pekerja lokal jangan kontrak. Kalau kontrak bisa semena-mena perusahaan asing. Sementara pekerja asing pasti diawasi ketat oleh mereka. Kalau mau konsisten dengan Perppu Cipta Kerja, harus ada perlindungan yang kuat dari pemerintah,” jelas Tadjudin.

Pada saat bersamaan, pemerintah juga dapat membentuk tim khusus yang tugasnya mengawasi perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Kejadian seperti yang di Morowali Utara ini, menurut Tadjudin, bisa juga terjadi di perusahaan-perusahaan asing di daerah-daerah lain.

“Tim khusus ini jangan libatkan pemda, itu mereka ngeri mainnya,” tutup Tadjuddin.

SN 09/Editor