Gambar Ilustrasi

Sejumlah pasal memberikan keleluasaan lebih kepada Polri, dinilai tidak memiliki definisi yang jelas.

(SPN News) Jakarta, Ombudsman Republik Indonesia menolak adanya perluasan kewenangan Polri dalam RUU Cipta Kerja. Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu menilai sejumlah pasal yang memberikan leluasa lebih kepada Polri tidak memiliki definisi yang jelas.

Misalnya Pasal 82 RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 15 UU Kepolisian. Dalam pasal itu, Polri diperkenankan untuk mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; dan melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.

“Ibu dan bapak ini catatan penting mengenai beberapa hal. Pertama adalah definisi penyakit masyarakat, aliran yang dapat menimbulkan perpecahan, dan pemeriksaan khusus,” kata Ninik dalam diskusi daring (12/7/2020).

Baca juga:  SAMBUTAN SISTER  HANNAI NAKANO PERWAKILAN UAZENZEN

Menurut Ninik, penjelasan definisi tersebut sebelumnya sudah ada dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c dan d UU Nomor 2 Tahun 2002. Bahwa yang dimaksud dengan penyakit masyarakat adalah pengelandangan, pengemisan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan atau praktik lintah darah, dan pungutan liar.

Menurut Ninik, perlu adanya standar dalam definisi agar kemudian tidak bersifat subyektif dan berpotensi tidak adil ketika ada warga negara yang sedang berhadapan dengan hukum.

“Jangan sampai ada diskriminasi karena perbedaan gender, ras, agama, dan lainnya,” ucap Komisioner Ombusman ini.

 SN 09/Editor