Ilustrasi Rawan Pangan

Sekitar 155 juta orang di seluruh dunia hidup pada tingkat krisis kerawanan pangan, 20 juta lebih banyak dari tahun 2020. Bahkan Oxfam menyebut tiap menit, ada 11 orang mati kelaparan di dunia.

(SPNEWS) Nairobi, Sekitar 155 juta orang di seluruh dunia hidup pada tingkat krisis kerawanan pangan, 20 juta lebih banyak dari tahun 2020. Bahkan Oxfam menyebut tiap menit, ada 11 orang mati kelaparan di dunia.

Diterbitkan pada Jumat (9/7/2021), laporan “The Hunger Virus Multiplies” dari Oxfam menemukan jumlah orang-orang yang menghadapi kondisi kelaparan secara global telah meningkat enam kali lipat selama setahun terakhir. Bahkan jumlah kematian akibat kelaparan melebihi Covid-19, yang membunuh sekitar tujuh orang per menit.

“Statistiknya mengejutkan, tetapi kita harus ingat bahwa angka-angka ini terdiri dari individu-individu yang menghadapi penderitaan yang tak terbayangkan. Bahkan satu orang terlalu banyak,” kata Abby Maxman, presiden dan CEO Oxfam America.

Menurut badan amal tersebut, 155 juta orang di seluruh dunia sekarang hidup pada tingkat krisis kerawanan pangan atau lebih buruk – sekitar 20 juta lebih banyak dari tahun lalu. Sekitar dua pertiga dari 155 juta orang itu menghadapi kelaparan karena negara mereka berada dalam konflik militer.

Baca juga:  ATURAN LENGKAP MUDIK LEBARAN

Pada pertengahan Juni, jumlah orang yang jatuh ke fase kelaparan paling akut mencapai 521.814 di Etiopia, Madagaskar, Sudan Selatan dan Yaman – naik dari 84.500 tahun lalu, meningkat lebih dari 500 persen, menurut global laporan Krisis Pangan 2021.

Kelompok tersebut mengidentifikasi negara-negara termasuk Yaman, Republik Demokratik Kongo (DRC), Afganistan dan Venezuela sebagai tempat di mana krisis pangan yang ada telah diperburuk oleh timbulnya pandemi dan konsekuensi ekonominya.

Oxfam mengatakan tiga penyebab utama yang memicu kelaparan akut adalah Covid-19, krisis iklim, dan konflik. Perang adalah satu-satunya penyebab kelaparan terbesar sejak pandemi dimulai, mendorong hampir 100 juta orang di 23 negara yang diperangi ke tingkat kekurangan pangan yang lebih buruk.

“Alih-alih memerangi pandemi, pihak-pihak yang bertikai saling bertarung, terlalu sering mendaratkan pukulan terakhir hingga jutaan orang sudah babak belur oleh bencana cuaca dan goncangan ekonomi,” kata Maxman.

Badan amal itu mencatat pengeluaran militer global meningkat sebesar US$ 51 miliar selama pandemi – jumlah yang melebihi setidaknya enam kali lipat dari apa yang dibutuhkan PBB untuk menghentikan kelaparan.

Baca juga:  SIDANG PARIPURNA DALAM RANGKAIAN KONFERTA 9 PSP SPN KAWASAN INDUSTRI NIKOMAS GEMILANG

“Kelaparan terus digunakan sebagai senjata perang, merampas makanan dan air warga sipil dan menghambat bantuan kemanusiaan. Orang-orang tidak dapat hidup dengan aman atau menemukan makanan ketika pasar mereka dibom dan tanaman serta ternak dihancurkan,” keluh Maxman.

Maxman mendesak pemerintah untuk menghentikan konflik agar tidak terus menelurkan “bencana kelaparan” dan untuk memastikan bahwa lembaga bantuan dapat beroperasi di zona konflik dan menjangkau mereka yang membutuhkan. Ia juga meminta negara-negara donor untuk “segera dan sepenuhnya” mendanai upaya PBB untuk mengurangi kelaparan.

Sementara itu, pemanasan global dan dampak ekonomi dari pandemi telah menyebabkan kenaikan harga pangan global sebesar 40%, tertinggi dalam lebih dari 10 tahun. Lonjakan ini telah berkontribusi secara signifikan untuk mendorong puluhan juta lebih banyak orang kelaparan, kata laporan itu.

Analisis Oxfam muncul sebelum laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB tentang keamanan pangan global, yang akan diterbitkan pada Senin (12/7).

SN 09/Editor