Upah Minimum Provinsi tahun 2018 dilaksanakan dan bagaimana kabarnya dengan kebijakan khusus bagi buruh yang mengiringi penetapan UMP yang dijanjikan Anies Baswedan sebagai Gubernur.
(SPN News) Jakarta, Terkait penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta yang telah ditetapkan sebesar Rp3.648.035,- atau naik 8,71% dari UMP tahun 2017, Gubernur DKI Jakarta menjanjikan tiga fasilitas khusus untuk para buruh di Jakarta, yaitu bebas biaya moda transportasi Transjakarta, subsidi pangan dan bantuan pendidikan dengan optimalisasi Kartu Jakarta Pintar. Menurut Anies, ini merupakan salah satu cara selain untuk meningkatkan pendapatan melalui upah ada juga penurunan pengeluaran yang akan buruh dapatkan.
Tetapi, akankah kebijakan khusus ini hanya menjadi bukti sebuah kompromi politik tukar guling dengan tuntutan upah buruh yang cukup tinggi dan terkait dengan janji kampanye pada waktu pilkada yang saat itu tertuang dalam SEPULTURA (sepuluh tuntutan buruh & rakyat). Sepultura adalah kontrak politik Koalisi Buruh Jakarta (KBJ) dengan gubernur terpilih saat ini. Beberapa poin kontrak politik tersebut yaitu menetapkan UMP DKI Jakarta lebih tinggi dari PP 78/2015, serta menetapkan upah sektoral dan struktur skala upah sesuai dengan UU 13/2003.
Menyediakan transportasi publik terjangkau bersubsidi untuk buruh termasuk di kawasan-kawasan industri dan pendidikan gratis bagi buruh dan keluarganya.
Anies menargetkan para buruh dapat menikmati tiga fasilitas yang mengiringi penetapan UMP tersebut terhitung mulai 1 Januari 2018, sebagai solusi agar buruh bisa menjangkau biaya hidup di ibu kota. Namun entah bagaimana mekanisme kebijakan khusus tersebut akan diberikan. Untuk dua item kebijakan yang disebutkan yaitu bantuan subsidi pangan dan bantuan pendidikan melalui Kartu Jakarta Pintar sudah bisa dipastikan akan terbit setiap bulannya, itu pun kalau benar-benar terrealisasi. Sedangkan satu item lagi yaitu bebas biaya untuk moda transportasi Transjakarta seharusnya sudah bisa dilaksanakan sesuai target sang Gubernur.
Namun hingga saat ini belum ada informasi tentang hal ini, baik itu mekanisme cara pendaftaran atau pendataan ataupun apapun. Istilahnya apalagi cara menggunakan fasilitas bersubsidi ini. Padahal target dari gubernur sudah jelas.
Pelaksanaan kebijakan khusus ini pula pernah disinggung pula dalam aksi demo buruh yang digelar pada 10 November 2017 di depan Balai kota. Bahwa wacana ini sebenarnya sudah ada dari Gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Namun saat itu mandek, karena bingung mencari sumber alokasi dana. Ketika sekarang sudah disiapkan alokasi dana dari APBD apakah ini akan benar-benar terwujud dan tepat sasaran?
Hal ini jelas menjadi tanda tanya besar. Dengan alokasi dana yang cukup besar untuk masa satu tahun, apakah ini hanya menjadi proyek mangkrak atau bahkan mungkin menjadi ladang korupsi dengan mengatasnamakan subsidi. Untuk realisasi kebijakan itu tentunya perlu persiapan dan yang pasti subsidi itu harus tepat sasaran. Sasaran utamanya jelas buruh, maka sebagai buruh berhak bertanya.
Dari awal sudah jelas, kebijakan khusus ini jelas tidak menyentuh buruh secara keseluruhan. Bagaimana bisa kebijakan ini hanya khusus mereka yang beridentitas Jakarta saja, sedangkan buruh yang bekerja di Jakarta itu bukan hanya murni beridentitas Jakarta. Bagaimana dengan mereka yang datang dari daerah penyangga ibukota ? Bukankah kebijakan ini pula lebih berpihak kepada mereka para pengusaha. Kenapa ?
Karena dengan subsidi jelas akan menggunakan dana APBD. Artinya uang rakyat yang semestinya bisa lebih dioptimalkan lagi penggunaannya untuk hal yang lebih penting esensinya untuk kepentingan rakyat. Apakah bukan tidak mungkin akan dicari sumber dana baru untuk mengganti APBD yang dipakai untuk mensubsidi buruh ? Entah itu kenaikan tarif parkir atau kenaikan lain yang hubungannya dengan masyarakat luas yang tentunya salah satu komponennya adalah buruh. Yang artinya sama saja tidak ada subsidi.
Walaupun hal itu entah bisa terlaksana atau pun tidak. Harapannya semua bisa terlaksana terkait peraturan maupun janji manis sang Gubernur.
Dede Hermawan, Jakarta 2/Editor