Pekerja kontrak diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 Bab IX pasal 58 dan 59 dengan diberi istilah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan PKWT dapat dilaksanakan hanya untuk pekerjaan tertentu yang sifatnya sementara, bukan untuk pekerjaan utama yang rutin berjalan seperti bagian produksi. Tetapi pada kenyataannya kebijakan pekerja kontrak itu di pabrik-pabrik banyak yang diberlakukan untuk pekerjaan-pekerjaan utama yang sifat pekerjaannya rutinitas dan utama.
Pekerja outsourcing diatur dalam UU No 13 tahun 2003 pasal 64 sampai pasal 66, adalah karyawan atau tenaga kerja yang diambil dari yayasan -yayasan penampung para calon tenaga kerja. Di sini bisa kita jelaskan bahwa fungsi dari yayasan-yayasan tersebut tak lebih dari penyedia jasa/calo perekrutan tenaga kerja.
PKWT dan pekerja outsorcing secara kasat mata dapat dilihat sebagai kompromi pemerintah yang cenderung menempatkan pekerja sebagai objek bukan sebagai subjek dan jelas-jelas sangat merugikan pekerja. Kebijakan ini jelas menempatkan pekerja dalam situasi pekerjaan yang tanpa perlindungan dari PHk kapan saja yang dapat dilakukan oleh pengusaha. Pengusaha/pemilik modal akan sangat mudah mem PHK pekerja PKWT dan pekerja outsorcing karena mereka dapat diberhentikan begitu saja tanpa memberikan pesangon.
Apalagi kalau kita melihat besarnya angka angkatan kerja apabila dibanding dengan lapangan kerja yang ada maka ada kecenderungan bagi para calon pekerja untuk pasrah menerima status apapun yang penting dapat memperoleh pekerjaan. Dan seringkali SP/SB yang ada di perusahaan seolah tutup mata dengan keadaan ini dengan alasan bahwa pekerja PKWT dan pekerja outsorcing bukan anggota mereka, karena pada umumnya para pekerja PKWT maupun outsorcing tidak mau bergabung menjadi anggota SP/SB dengan alasan takut diputus kontrak.
Ini harus menjadi perhatian dari semua aktivis SP/SB, kalau keadaan ini dibiarkan terus menerus maka tentu saja akan semakin memperlemah SP/SB yang ada karena pengusaha cenderung ingin merubah status pekerja tetap (PKWTT) dengan pekerja PKWT maupun outsorcing. Tidak ada jalan lain selain dari SP/SB harus semakin intens untuk “menyadarkan akan pentingnya berserikat kepada pekerja PKWT dan outsorcing” dan tentu saja SP/SB harus berani untuk melawan setiap pelanggaran pelaksanaan PKWT dan Outsorcing di perusahaan masing-masing. Sudah saatnya keperdulian ditingkatkan demi pekerja Indonesia yang bermartabat, berkeadilan dan sejahtera.
Shanto dikutip dari berbagai sumber/Coed