Ilustrasi
Pengamat hukum sekaligus pengacara, Muhammad Sholeh akan melakukan gugatan uji materi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
(SPNEWS) Jakarta, Pengamat hukum sekaligus pengacara, Muhammad Sholeh akan melakukan gugatan uji materi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Mulai Selasa (1/3/2022) hari ini, lampiran kartu peserta BPJS Kesehatan menjadi syarat dalam mengurus sejumlah layanan publik. Hal tersebut tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2022 yang diteken Presiden Joko Widodo. Sejumlah layanan publik yang mempersyaratkan kepesertaan BPJS mulai dari pembuatan SIM dan SKCK, pengurusan STNK, izin usaha, jual beli tanah, naik haji, umrah, hingga keimigrasian.
Pengacara Muhammad Sholeh akan melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) pada minggu depan.
“Minggu depan kami akan gugat ke MA terkait Inpres Nomor 1 Tahun 2022,” kata Sholeh, saat dihubungi, Selasa (1/3/2022).
Menurutnya kebijakan ini bertentangan dengan Pasal 26 Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Inpres ini mewajibkan beberapa persyaratan seperti jual beli tanah, SIM, STNK, Umrah dan lain-lain wajib menunjukkan BPJS Kesehatan.”
“Aturan ini bertentangan dengan pasal 26 UU No 25/2009 tentang pelayanan publik,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga menganggap syarat lampiran kartu peserta BPJS Kesehatan tidak ada korelasinya dengan sejumlah layanan publik tersebut.
Sholeh menilai adanya kebijakan ini sangat memberatkan masyarakat.
“Tidak ada korelasi antara jual beli tanah, SIM, Umrah dengan BPJS, menjadi aneh kebijakan yang mewajibkannya,”
“Dalam situasi Covid seperti ini sekarang aturan Inpres ini menurut saya sangat memberatkan masyarakat,” ujarnya.
Tak hanya itu, Sholeh mengatakan pemerintah seharusnya tidak mewajibkan kepada masyarakat untuk ikut BPJS.
Menurutnya jika kualitas layanan BPJS baik, tanpa diwajibkan masyarakat akan ikut dengan sendirinya.
“BPJS itu asuransi, dan seharusnya tidak boleh mewajibkan kepada masyarakat untuk ikut wajib BPJS,” kata Sholeh.
“Apalagi sampai sekarang kualitas BPJS masih kurang baik, banyak kelas menengah yang ikut asuransi swasta, anehnya meski ikut asuransi swasta tetap wajib ikut BPJS, itu namanya double asuransi, ” lanjutnya.
“Kalau memang BPJS kualitasnya bagus, tanpa diwajibkan warga akan ikut dengan sendirinya,” tandasnya.
Adapun syarat BPJS Kesehatan yang dilampirkan dalam sejumlah layanan publik ini harus merupakan peserta aktif.
Karena syaratnya adalah kartu kepesertaan BPJS Kesehatan yang aktif, maka perseorangan yang status BPJS-nya nonaktif harus membayar iuran yang menunggak tersebut.
Dalam hal ini, Sholeh menganggap peraturan ini hanya jalan untuk menutupi adanya defisit BPJS bukan memperbaiki layanan. Jika dilihat dari sisi birokrasi, Sholeh juga mengatakan kebijakaan yang dibuat tidak konsisten dengan janji pemerintah terkait reformasi birokrasi.
“Tidak konsisten dengan janji pemerintah yang mempermudah birokrasi,” kata Sholeh.
Sholeh menyesalkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang justru mendukung pemerintah terkait kebijakan ini.
“DPR sebagai wakil rakyat justru mendukung pemerintah anehnya rakyat disuruh ikut BPJS, sementara DPR pakai asuransi bukan BPJS, ini patut kita sesalkan,” kata Sholeh.
“Dan kesannya kita tidak pernah lihat ada pejabat antri BPJS di rumah sakit, karena kebijakan ini hanya untuk rakyat, bukan pejabat,”pungkasnya.
SN 09/Editor