Setiap tanggal 20 Mei selalu kita peringati sebagai hari Kebangkitan Nasional, kalau kita mengingat perjalanan sejarah bangsa, maka kita akan ingat bahwa tanggal 20 Mei tahun 1908 adalah hari lahirnya gerakan nasionalis pertama di negeri ini yaitu “Boedi Oetomo”. Pergerakan nasional yang dipimpin oleh Dr. Soetomo ini berpusat di Batavia (Jakarta), dengan lahirnya “Boedi Oetomo” ini mendorong lahirnya gerakan-gerakan pergerakan nasional di daerah lain, tahun 1912 di Surabaya berdiri Sarekat Dagang Islam dibawah pimpinan Haji O.S Tjokroaminoto, Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Sarekat Dagang Islam ini pada perkembangannya menjadi Sarekat Islam (SI), kemudian pecah menjadi SI merah dan SI putih. Dan pada tahun 1912 pula lahir satu pergerakan yang sangat penting yaitu satu gerakan politik bernama “Indische Partij” dibawah pimpinan Douwes Dekker (Dr Setiabudhi), R.M. Suwardi Suryadiningrat dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Tahun 1913 partai ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemimpin-pemimpinnya ditangkap serta kemudian di buang ke pengasingan.

Perkembangan selanjutnya tahun 1914 di Semarang lahir “Indische Sociaal Demokratische Vereeniging (ISDV)” yang berhaluan kiri (komunis) dibawah pimpinan Sneevliet dan Samaun, dan tahun tanggal 23 Mei 1920 berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah pimpinan Samaun. Dalam perjuangan melawan pemerintahan penjajah Belanda, PKI melakukan pemberontakan di Banten, Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 1926 dan kemudian di Sumatra Barat pada tahun 1927. Setelah pemberontakan ini di berantas oleh pemerintahan kolonial Belanda, maka pimpinan dan ribuan anggotanya dibuang ke Digul (Tanah Merah).

Baca juga:  KONSOLIDASI UNTUK PENGUATAN ORGANISASI

Setalah itu pergerakan menentang pemerintahan kolonial Belanda diteruskan oleh “Partai Nasional Indonesia (PNI)” yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan didirikan pada tanggal 4 Juli 1927. Bung Karno ketika itu dikenal sebagai seorang pemimpin gerakan nasionalis yang muslim dan berhaluan kiri. Tahun 1926 bung Karno pernah menulis artikel untuk majalah Suluh Indonesia tentang pentingnya persatuan antara pergerakan politik yang beraliran nasionalisme, agama dan marxis.

Kalau kita merunut perjalanan sejarah diatas tadi bahwa sangat jelas gerakan-gerakan yang muncul sejak berdirinya Boedi Oetomo adalah gerakan kebangsaan yang boleh dikatakan gerakan berhaluan kiri/memiliki aspek kiri. Dalam literatur politik dunia kata “kiri” disebut untuk mengungkapkan fikiran, sikap atau kegiatan yang menghendaki antara lain : adanya perubahan dalam masyarakat untuk memperjuangan keadilan sosial, melawan penindasan atau pemerasan terhadap rakyat, melawan kediktaktoran modal atau melawan kekuasaan sewenang-wenang segolongan orang atau suatu kekuasaan politik. Dalam konteks perjuangan melawan kolonialisme Belanda, gerakan ini lah yang ditunjukan oleh para “Founding Fathers” negara ini, mereka bersikap non kooperatif/melawan (kiri) bukan kooperatif/lunak (kanan) yang cenderung penakut dan “berKhianat”.

Semangat ini lah yang harus “diwarisi oleh Gerakan Buruh”. Kita sekarang bisa melihat betapa pemerintah begitu menekan gerakan buruh contohnya saja dengan “dikriminalisasikannya 26 aktivis buruh”, belum lagi dengan kebijakan dan peraturan yang cenderung berpihak kepada “pemodal/pengusaha” dengan lahirnya PP No 78 Tahun 2015, UU BPJS dll. Banyak tantangan yang harus kita hadapi, selain tantangan dari pemerintah selaku pembuat kebijakan, juga tantangan dari pengusaha-pengusaha “nakal/hitam” yang selalu mencari celah dalam peraturan dan juga bekerja sama dengan “oknum-oknum” pemegang kekuasaan. Dan yang lebih penting adalah tantangan dari buruh sendiri, banyak orang yang berpendapat bahwa “buruh itu hanya orang-orang yang bekerja dipabrik”, itu adalah kekeliruan yang sangat fatal!. Siapapun orangnya apapun bentuk pekerjaannya sepanjang dia adalah penerima upah dari pihak lain itu adalah buruh!!!. Masih banyak buruh yang belum sadar tentang status, posisinya, hak dan nilai tawarnya. Banyak buruh juga yang lupa akan kekuatan terbesar buruh yaitu “Solidarity/Solidaritas”. Dengan semangat Solidaritas seharusnya gerakan buruh bisa lebih bersatu, bisa lebih masif, bisa lebih mempengaruhi, bisa lebih menentukan dan bisa membuat perubahan bagi seluruh rakyat. Gerakan buruh bukan hanya sekedar “menuntut upah layak tapi yang menjadi tujuan besarnya adalah menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca juga:  UNIT REAKSI CEPAT PENGAWAS KETENAGAKERJAAN

Bangkilah gerakan buruh Indonesia, dobraklah setiap ketidakadilan dan wujudkanlah kesejahteraan.

Shanto/Jabar6/Coed