​Ekspor TPT 2017 bangkit kembali dan menembus US$ 12,4 miliar.

(SPN News) Jakarta, Ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) pernah mencapai puncaknya pada 2011 dengan nilai US$ 13,2 miliar. Kemudian setelah itu terus mengalami penurunan dengan capaian terburuk pada 2016 dengan nilai ekspor hanya sebesae  US$ 11,87 miliar. Namun 2017 ekspor TPT kembali bangkit, menembus US$ 12,4 miliar.

Kenaikan tersebut ditopang oleh peningkatan permintaan dari Asean, Jepang, Tiongkok, dan Amerika Serikat , di samping juga karena faktor peningkatan kualitas produk TPT nasional.

Kebangkitan ekspor tekstil ini harus dijaga karena merupakan sektor unggulan penghasil devisa  dan penyerap banyak tenaga kerja. Industri TPT masuk empat besar subsektor manufaktur penyerap tenaga kerja terbesar. Dari total tenaga kerja manufaktur sebanyak 17 juta orang, industri TPT berada di peringkat tiga dengan serapan 2,7 juta orang, di bawah makanan dan minuman (mamin) olahan sebanyak 3,3 juta orang dan otomotif 3 juta orang.

Selain ekspor, pasar TPT domestik juga semakin potensial, terlebih lagi adanya tahun politik dan perhelatan Asian Games 2018. Tahun politik dengan 171 pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan mendorong kenaikan kebutuhan tekstil yang signifikan untuk kampanye calon kepala daerah.

Dengan potensi besar ini, industry TPT dapat menaikkan pangsa pasar di dalam negeri menjadi di atas 30%. Dalam beberapa tahun belakangan pangsa pasar domestik industri TPT merosot hingga di bawah 30%, akibat persaingan ketat dengan produk impor, terutama asal Tiongkok.

Baca juga:  SPN MASUK DALAM DEWAN PENGUPAHAN KABUPATEN MOROWALI

Selain itu, pelaku industri pun harus bersaing dengan impor ilegal yang tetap marak terjadi. Namun demikian, industri TPT yang telah menjadi tulang punggung ekspor dalam beberapa dekade kini menghadapi berbagai tantangan. Dari sisi pasar ekspor, tekstil kita semakin kalah bersaing dengan Vietnam selaku kompetitor utama dalam menembus pasar Uni Eropa.

Sebab, Vietnam tahun ini sudah mendapatkan preferensi tarif 0%, sementara produk Indonesia masih dikenakan tarif bea masuk 11-17% oleh Uni Eropa. Apabila tidak ada inovasi dan perbaikan daya saing produk TPT Indonesia, ekspor ke Uni Eropa bisa turun 2-3%. Vietnam kini telah menjadi raksasa tekstil dengan rata-rata ekspor tahunan mencapai US$ 20 miliar.

Indonesia bukan hanya kalah bersaing karena Vietnam telah menjalin FTA dengan Uni Eropa, tapi lantaran biaya produksi industry TPT di dalam negeri masih lebih tinggi dibandingkan Vietnam. Meskipun biaya tenaga kerja relative sama, tarif listrik dan biaya-biaya produksi TPT lainnya di Vietnam juga lebih murah. Itulah sebabnya, pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia (TPT) mendesak pemerintah untuk menjalin perdagangan bebas (free trade agreement/ FTA) dengan Uni Eropa, sebagai salah satu pasar ekspor utama. Langkah itu bisa dikebut setelah akhir tahun lalu Indonesia sukses merampungkan FTA dengan Chile.

Saat ini, pemerintah juga fokus membahas FTA dengan Australia. Tantangan lain yang dihadapi industri tekstil nasional adalah kondisi permesinan yang mayoritas usianya sudah tua, terutama pada industri pertenunan dan perajutan. Ironisnya, perbankan masih enggan membiayai industri tekstil karena menganggap sektor ini sudah sunset. Padahal, industry tekstil masih sangat prospektif dan permintaannya sangat besar.

Baca juga:  PERJUANGAN YANG BERBUAH MANIS PSP SPN PT LUHAI INDUSTRIAL

Dalam konteks ini, industri tekstil nasional perlu meng-update teknologi permesinannya. Selain itu, pemerintah perlu menjembatani kesulitan pendanaan terkait restrukturisasi mesin. Langkah lain agar industri tekstil nasional semakin berkembang adalah investasi. Belakangan ini, investasi sektor tekstil masih minim.

Sekarang adalah saat tepat untuk mendorong investasi industri tekstil. Apabila investasi tidak dilakukan dalam waktu lima tahun ke depan, industri tekstil nasional bakal sulit bersaing dengan negara competitor utama seperti India, Tiongkok, Vietnam, dan Bangladesh.

Dalam konteks itu, pemerintah perlu menelurkan regulasi khusus yang dapat mendorong industri padat karya berorientasi ekspor, termasuk industri tekstil dan produk tekstil. Di dalamnya akan mengatur tentang insentif fiskal, nonfiskal, kemudahan perizinan, dan fasilitas lainnya.

Strategi lain untuk memperkuat basis industri tekstil adalah menyusun peta jalan (roadmap) tentang industri TPT nasional yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Di sini perlu didesain apa saja yang bakal menjadi unggulan kita dan ke mana arah industri tekstil nasional.

Berbagai langkah di atas diyakini akan mendorong kebangkitan industri tekstil nasional sebagai penyumbang devisa negara utama dan penyerap tenaga kerja yang masif. Semua pihak perlu meyakini bahwa industri tekstil bukan kategori industri sunset tapi tetap memiliki daya saing tinggi di negeri ini.

Shanto dikutip dari Berita satu.com/Editor