Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, Dalam Islam, posisi perempuan sangat dimuliakan, meski tidak perlu dipahami sebagai setara dengan laki-laki. Ada banyak dalil dalam Alquran yang menjadikan kedudukan perempuan sangat istimewa dan mulia.

Kesetaraan gender sebagaimana yang kerap digaungkan kaum modern cenderung menyisakan bias tersendiri. Kesetaraan belum tentu berarti keadilan gender bagi perempuan. Sedangkan dalam Islam, keadilan—terutama bagi perempuan— sangatlah dijunjung tinggi.

Allah SWT berfiman dalam Alquran surah an-Nahl ayat 97 berbunyi, “Man amala shalihan min dzakarin aw untsa wa huwa mukminun falanuhyiyannahu hayatan thayyibatan”. Yang artinya, “Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”

Dalam kitab Shahih Muslim, pada konteks tertentu, perempuan justru memiliki posisi istimewa dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Al-jannatu tahta aqdamil-ummahati.” Yang artinya, “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.” Namun, meski posisi perempuan sangatlah dimuliakan, perbedaan fisik antara laki-laki dengan perempuan jelas berbeda jauh.

Kemampuan fisik perempuan dengan laki-laki pada umumnya memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Secara hormonal laki-laki lebih berotot dan memiliki tulang serta kulit yang lebih keras dibandingkan perempuan. Perempuan memiliki hormonal yang berbeda. Kaum Hawa dapat mengandung, melahirkan, hingga menyusui. Hal ini disebut sebagai perbedaaan kodrati.

Baca juga:  RIBUAN BURUH BANTEN BERUNJUK RASA DI KP3B

Secara sosial, peran serta kedudukan perempuan dengan laki-laki pun berbeda dalam keadilan yang diatur dalam agama. Untuk urusan rumah tangga, aktivitas, seperti menyapu, mengepel, hingga memasak kerap diidentikkan merupakan kewajiban kaum perempuan. Padahal, sejatinya hal itu merupakan kewajiban laki-laki.

Dalam kitab Hasyiyatul Jamal karya Sulaiman al-Jamal disebutkan, wajib bagi suami untuk memberitahukan istrinya pekerjaan-pekerjaan rumahan seperti itu merupakan kewajiban suami. Wajib diberitahu karena apabila istri menyangka kewajiban itu adalah tugasnya, jika tidak ia lakukan, dirinya merasa tidak berhak mendapatkan nafkah.

Sedangkan dalam lingkup sosial, seperti pekerjaan, para ulama sepakat, nafkah merupakan kewajiban suami kepada istri dengan syarat-syarat yang tidak dilanggar istri. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Alquran. Allah berfiman dalam surah al- Baqarah ayat 233 berbunyi, “Wal-walidatu yurdhi’na hawlaini liman arada an yutimma arrhada’atu wa alal-mawaludilahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma’rufi la tukallifu nafsun illa wus’aha.”

Baca juga:  UMK KABUPATEN BANDUNG BARAT DIREKOMENDASIKAN NAIK RP 102.855,49

Yang artinya, “Kaum ibu hendaklah menyusuai anak-anak mereka selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada kaum ibu (istrinya) dengan cara yang baik dan benar. (Allah) tidak akan memberikan kadar beban kepada hamba-Nya kecuali dengan kadar kesanggupan (hamba tersebut).”

Istri pun diperkenankan mencari nafkah atas seizin suami baik untuk mengembangkan diri, membantu ekonomi keluarga, hingga mem be baskan keluarga dari jeratan utang. Da lam kitab Thabaqah karya Ibnu Sa’ad disebut kan mengenai seorang Muslimah di zaman Nabi bernama Rithah yang bekerja membantu suaminya. Rithah yang merupakan istri dari sahabat Nabi bernama Abdullah bin Mas’ud, bahkan berkonsultasi langsung dengan Rasulullah SAW perihal boleh atau tidaknya ia mencari nafkah.

Rasulullah pun membolehkan langkah Rithah dalam mencari nafkah. Kesetaraan gender yang digaungkan kaum feminis belakangan ini tampaknya harus diiringi dengan keadilan gender. Baik itu keadilan untuk perempuan maupun untuk laki-laki. Kedua jenis manusia ini diciptakan Allah dengan kapasitas yang berbeda, berhak mendapatkan keadilan dan hak yang diperlukan.

SN 09/Editor