Ilustrasi

Tulisan ini adalah bagian ketiga dari Alert! Perppu Cipta Kerja Bikin Hidup Sengsara. Nah, sekarang kita akan mendiskusikan isi Perppu Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan saja. Karena isu lain mah gelap. Segelap masa depan generasi milenial.

Kita akan mempelajari bagian-bagian berbahaya dari Perppu Cipta Kerja di Bab Ketenagakerjaan. Tentu tidak akan semua pasal diperlihatkan. Jangan bahas apakah ditulis ‘Perppu’ dengan ‘p’ dua atau Perpu dengan ‘p’ satu atau PerPPU. Yang penting tidak ditulis Ferpu.

Bab Ketenagakerjaan diletakan di Bab IV dan dimulai dengan Pasal 80, bunyinya, “ … [P]erlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja dalam rangka mendukung ekosistem investasi”. Istilah yang dipake ‘ekosistem’, seperti istilah dalam ilmu biologi. Penggunaan istilah ekosistem berarti masalah-masalah ketenagakerjaan, bagian tidak terpisahkan dari upaya menggaet investasi.

Masih di Pasal 80 masih dinyatakan, Perppu Cipta Kerja ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru dari Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13/2003, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Nomor 40 Tahun 2004, Undang-Undang BPJS No 24/2011, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 20l7 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Cara mengubah, menghapus dan menetapkan empat undang-undang itu balik ke kalimat awal, ‘dalam rangka mendukung ekosistem investasi’. Jadi, hal-hal yang dianggap menghambat investasi dihapus dan diubah. Pasal-pasal yang mendukung iklim investasi dipertahankan dan ditetapkan.

Kenapa tidak ada Undang-Undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)? Rujukan K3 adalah Pasal 86 UUK 13/2003. Di Perppu tidak dihapus dan tidak diubah. Berarti tetap berlaku. Tapi pasal secuil itu sebenarnya merujuk ke undang-undang lama, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Dua UU K3 di atas mengatur kewajiban-kewajiban pemilik perusahaan melaksanakan keselamatan kerja, termasuk di dalamnya pemeriksaan kesehatan fisik dan mental termasuk standar-standar alat perlindungan diri bagi buruh.

Peraturan perundangan K3 memang dibiarkan usang karena tidak ‘mendukung ekosistem investasi’. Itulah yang menjelaskan berbagai rentetan kecelakaan kerja buruh PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tengah, pada Januari 2023. Juga, berbagai kecelakaan kerja yang angkanya terus naik: dari 234.370 kasus pada 2021 menjadi 265.334 pada 2022.

Bukankah ada UU SJSN dan UU BPJS? Dua undang-undang itu tidak membicarakan keselamatan dan kesehatan di lingkungan kerja tapi tata cara mengeruk duit dari peserta. Makanya ada istilah ‘kepesertaan wajib dan iuran wajib’ bagi seluruh rakyat Indonesia. Kritik terhadap SJSN dan BPJS bisa dibaca di ‘Grebek Rumah Sakit’: Merebut Hak Atas Kesehatan.

Untuk mengetahui ‘ekosistem investasi’ yang dimaksud kita kembali diingatkan dengan skenario program reformasi hukum perburuhan dan sistem jaminan sosial. Reformasi hukum perburuhan dan sistem jaminan sosial itu mewujud pada pasar kerja fleksibel (LMF/labour market flexibility) dan pengintegrasian dana asuransi sosial untuk membiayai para investor.

LMF merupakan kebijakan negara yang membiarkan sekaligus memfasilitasi kapital agar bebas bergerak. Negara dan serikat buruh hanya dibutuhkan untuk memastikan pergerakan kapital melakukan akumulasi, sirkulasi dan distribusi berjalan lancar. Dalam proses itu, tersedia buruh terampil melimpah, dapat direkrut dan pecat sesuai kebutuhan, dapat dipekerjakan kapan pun dan di mana pun dengan upah yang sangat murah.

Proyek reformasi hukum perburuhan dan sistem jaminan sosial didanai oleh IMF, Bank Dunia dan ADB. Kalau minat bisa dibaca judul ini Revisi UUK Versi 2019, Bagaimana IMF dan Grup Bank Dunia Merampas Hak Buruh?. Khusus tentang peranan ADB dalam reformasi jaminan sosial bisa dibaca di sini Dari Perampokan Uang Buruh hingga Perampasan Lahan Petanidan BPJS JHT dan JKP: Flexicurity dan Flexploitation.

Jadi, Perppu Cipta Kerja hanya melanjutkan program LMF. Jika UUK 13/2003 mendorong fleksibilisasi hubungan kerja, Perppu Cipta Kerja menyempurnakannya menjadi fleksibilisasi waktu kerja, upah, perekrutan dan pemecatan.

Jika UU SJSN 40/2004 dan UU BPJS 24/2011 mengeruk duit rakyat dan pelepasan tanggung jawab negara untuk melaksanakan jaminan sosial, dalam Perppu Cipta Kerja dana tersebut akan dikumpulkan untuk membiayai investor melalui LPI (Lembaga Pengelola Investasi).

Berikut adalah beberapa contoh:

Fleksibilisasi perekrutan. Tugas utama negara menyiapkan cadangan buruh siap pakaidengan kompetensi memadai yang sesuai kebutuhan industri.Karena itu, negara membuka lembaga-lembaga pelatihan kerja, termasuk menyiapkan siswa-siswa sekolah siap masuk dunia kerja. Jadi, pengusaha memiliki banyak pilihan untuk merekrut tenaga kerja terampil. Perusahaan dapat merekrut secara langsung atau melalui yayasan penyalur tenaga kerja. Kadang balai-balai latihan kerja berperan sebagai penyalur tenaga kerja.

Mobilisasi buruh pun terjadi di buruh migran. Negara memberikan kemudahan pendirian dan perpanjangan izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dan perpanjangan izin perusahaan dengan mengabaikan perlindungan buruh migran. Hal ini terlihat dari pemangkasan beberapa pasal dalam perizinan.

Sebenarnya, mekanisme perekrutan baik yang langsung maupun melalui agen penyalur sangat bermasalah, bahkan diwarnai kekerasan. Misalnya, dalam lowongan kerja mencantumkan: siap kerja di bawah tekanan, good looking, fresh graduate, tinggi badan minimal 160 cm. Untung aja tidak mencantumkan persyaratan: bisa bikin candi dalam semalam dan bisa naik awan kinton.

Ada juga yang lebih genting, yaitu soal para penyalur dan pungutan liar saat perekrutan. Praktik penyaluran tenaga kerja terjadi dengan barbar. Tidak hanya penyalur berbadan hukum, para penyalur kadang berkedok tokoh masyarakat, ormas, bahkan LPK (Lembaga Pelatihan Kerja). Para penyalur individual maupun lembaga tersebut tak segan memungut bayaran jutaan dari pencari kerja. Semakin bonafide perusahaan, harga lowongan kerja semakin mahal. Bahasan soal-soal ini bisa ditengok di Fleksibilisasi Perekrutan.

Baca juga:  RESOLUSI PERLINDUNGAN PELAUT DISAHKAN MAJELIS UMUM PBB

Sedangkan informasi lebih lanjut tentang bahaya Perppu Cipta Kerja terhadap buruh migran dapat dibaca dalam Dampak Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Perempuan Pekerja Migran Indonesia.

UUK 13/2003 Perppu Cipta Kerja
Pasal 13
1. Pelatihan Kerja diselenggarakan oleh:
a. lembaga Pelatihan Kerja pemerintah;
b. lembaga Pelatihan Kerja swasta; atau
c. lembaga Pelatihan Kerja Perusahaan.
Pasal 35 (masih berlaku)
1. Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. Pasal 37
1. Pelaksana penempatan Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri atas:
a. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan; dan
b. lembaga penempatan Tenaga Kerja swasta.

Pasal 64
1. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.
Pasal 51
1. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b wajib memiliki izin yang memenuhi Perizinan Berusaha dan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan dan dipindahtangankan kepada pihak lain.
3. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 89A
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 20l7 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha.
Hubungan kerja fleksibel. Bentuk-bentuk hubungan kerja fleksibel atau sementara, di mana buruh dapat dipekerjakan sesuka perusahaan, termasuk mengalihkan pekerjaan ke perusahaan. Untuk itu, diperkenalkan jenis-jenis hubungan kerja yang melekat pada jenis pekerjaan atau durasi pekerjaan.

Undang-undang membedakan dua istilah hubungan kerja, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Sedangkan dalam pengupahan hanya dikenal dua jenis, yaitu upah satuan waktu dan satuan hasil.

Dalam praktik, hubungan kerja fleksibel sengaja dicampuradukan dengan pengupahan fleksibel. Misalnya, buruh borongan, buruh harian, buruh outsourcing, buruh kontrak,buruh tetap. Kenapa dicampuradukan? Untuk apalagi kalau bukan untuk menyiasati hukum. Misalnya, buruh X kerja bagian finishing udah 10 tahun. Hubungan kerjanya waktu tidak tertentu alias tetap. Tapi, buruh X diupah dengan basis borongan dengan alasan, bagian finishing bukan inti produksi.

Pasal 56
1. Perjanjian Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
2. Perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Pasal 64
1. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.

Pasal 66
1. Hubungan Kerja antara Perusahaan alih daya dengan Pekerja/Buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada Perjanjian Kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Fleksibilisasi waktu. Waktu yang diatur adalah jam kerja dan luar jam kerja. Di sinilah dasar dari ‘no work no pay’. Fleksibilisasi waktu kerja berarti pemilik perusahaan hanya mengaku nilai kerja pada saat melaksanakan dan menghasilkan pekerjaan yang berkualitas. Pemilik perusahaan tidak mengakui waktu istirahat atau cuti sebagai bagian dari kerja. Hak cuti dianggap sebagai beban bagi perusahaan.

Fleksibilisasi waktu kerja juga berarti dapat mempergunakan buruh di waktu yang dibutuhkan dan membuangnya ketika tidak dibutuhkan.

Bagaimana mengatur fleksibilisasi waktu kerja? Negara bisa menentapkan jumlah maksimum kerja dan lemburnya, juga memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk mengatur waktu kerja sendiri. Karena peran negara dikurangi mengatur waktu kerja, perlu dibuat klausul pengaturannya diserahkan ke tingkat pabrik.

Di bawah ini adalah beberapa pasal dalam Perppu Cipta Kerja yang melimpahkan kewenangan negara kepada pemilik perusahaan. Seperti dilihat, yang diatur bukan perundingan kolektifnya tapi bentuk pengaturannya. Jadi kalau tidak ada serikat buruh atau serikat buruhnya tidak terlalu berfungsi maka jam kerja dapat diatur lewat peraturan perusahaan.

Pasal77
1. …
2. …
3. Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
4. Pelaksanaan jam kerja bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Pasal 78
1. …
2. Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

Pasal 79
1. Pengusaha wajib memberi:
a. waktu istirahat; dan
b. cuti.
2. …
3. …
4. Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Perjanjian Kerja,
5. Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pengupahan fleksibel. Ada pun yang diatur dalam pengupahan adalah seluruh jenis pengupahan dari upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Baca juga:  RIBUAN BURUH DEMO TOLAK PERPPU CIPTA KERJA

Di Perppu Cipta Kerja, perhitungan pesangon tidak dimasukan sebagai bagian dari kebijakan pengupahan. Artinya, filosofi pesangon sebagai cara untuk mencegah terjadinya PHK dan uang pesangon sebagai cara bertahan hidup selama belum mendapat pekerjaan baru, dihilangkan. Lagi-lagi, Perppu Cipta tidak bermaksud melindungi hak atas pekerjaan.

Kebijakan pengupahan dalam Perppu Cipta Kerja berlandaskan prinsip ‘no work no pay’ dengan dua mekanisme, yaitu upah satuan waktu dan upah satuan hasil. Pengaturan upah fleksibel dilakukan dengan cara: pemerintah pusat terlibat menetapkan upah dengan tetap berpegang pada ‘ekosistem investasi’ dan biarkan pengusaha mengatur pengupahan di tingkat pabrik.

UUK 13/2003 Perppu Cipta Kerja
Pasal 88
1. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
2. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
3. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pasal 88 (diubah)
1. Kebijakan pengupahan ditetapkan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
2. Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Upah minimum;
b. Struktur dan skala Upah;
c. Upah kerja lembur;
d. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
e. Bentuk dan cara pembayaran Upah;
f. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah; dan
g. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Pasal 88A
1. …
2. …
3. Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/ Buruh sesuai dengan kesepakatan.
Fleksibilisasi pemecatan. Dalam fleksibilisasi pemecatan, terdapat istilah-istilah teknis, yaitu pengakhiran atau pemutusan hubungan kerja (PHK) atau putus kontrak atau kontrak tidak diperpanjang. Fleksibilisasi pemecatan berkaitan dengan jenis-jenis hubungan kerja.

Fleksibilisasi pemecatan berangkat dari prinsip, mengurangi jumlah buruh adalah hak pengusaha. Karena itu, alasan-alasan memecat buruh mengakomodasi kepentingan perusahaan. Setelah itu, tata cara memecat buruh dibuat semudah mungkin. Sebagai tambahan, Perppu Cipta Kerja kembali mencantumkan ‘pasal kesalahan berat’ sebagai alasan untuk memecat buruh.

Jadi isu utama dalam fleksibilisasi pemecatan bukan besaran pesangon, tapi seberapa lincah perusahaan dapat memecat buruh. Bagi perusahaan, model pemecatan dengan harus berunding kolektif atau harus mendapat persetujuan pemerintah terlalu ribet. Mestinya pemecatan cukup diberitahukan kepada yang bersangkutan. Kalau tidak terima, selesaikan di pengadilan.

Hak atas pekerjaan dan hak berunding kolektif sedang dilucuti melalui mekanisme pemecatan.

Pasal 61
1. Perjanjian Kerja berakhir apabila:
a. Pekerja/Buruh meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. selesainya suatu pekerjaan tertentu;
d. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
e. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya Hubungan Kerja.

Pasal 151
1. Pengusaha, Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
2. Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan Pemutusan Hubungan Kerja diberitahukan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
3. Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.
4. Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Pasal 154A
(1) Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan:
a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Perusahaan dan Pekerja/Buruh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha tidak bersedia menerima Pekerja/Buruh;
b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan Penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan Penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;
c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur);
e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. Perusahaan pailit;
g. adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
(ayat dan poin selanjutnya)

Perppu Cipta Kerja: Melucuti Hak atas Pekerjaan dan Berunding Kolektif