Minggu Bulu dan Amirullah, dua buruh PT GNI menerima surat panggilan dari Polres Morowali pada 4 April 2023. Di surat itu disebutkan, keduanya harus hadir di Polres pada Senin, 10 April 2023.
Minggu Bulu dan Amirullah akan dimintai keterangan berkaitan dengan dugaan penghasutan atas tindakan pidana pada peristiwa 14 Januari 2023.
Per 14 Januari 2023, terjadi bentrok massal di PT GNI. Namun, sebelum kejadian tersebut massa buruh sedang mempersoalkan ketidakpatuhan perusahaan terhadap peraturan perundangan, terutama berkaitan dengan pemenuhan hak buruh di industri tambang. Di antaranya penyediaan APD (Alat Pelindung Diri) lengkap saat bekerja, sirkulasi udara di setiap gudang atau smelter, dan memperjelas hak-hak pekerja yang sudah meninggal akhir tahun lalu akibat kecelakaan kerja.
Tak dikira, pertistiwa kerusahaan di atas telah menjadi headline berita nasional. Anehnya, ketimbang memeriksa sebab terjadinya demonstrasi, aparat keamanan malah menyelidiki pelaku kerusuhan.
Membaca surat tersebut mereka punya firasat. Pemanggilan tersebut sepertinya akan berujung penahanan.
Setelah berkonsultasi dengan penasihat hukum serta pengurus serikat buruh, Minggu Bulu mengemas pakaian, berpamitan kepada istri dan empat orang anaknya. Sementara Amirullah, yang belum berkeluarga, sebatas berpamitan kepada kakaknya, sebab orangtuanya sedang sakit.
Firasat alam itu nyata. Setelah menjalani pemeriksaan hingga dini hari, keduanya resmi ditahan di Polres Morut (Morowali Utara) dan akan menjalani proses hukum. Keduanya dikaitkan bentrokan maut di pabrik smelter PT GNI.
Tidak hanya Minggu Bulu dan Amirullah, ternyata polisi pun mencokok 17 orang buruh lainnya. Mereka ditahan di Lapas Poso dengan tuduhan sebagai biang kerusuhan. Semua yang ditahan adalah buruh Indonesia.
Jauh sebelum pemanggilan tersebut, Minggu Bulu dan Amirullah telah menduga sedang diincar aparat kepolisian. Bagi keduanya, terdapat dua hal yang terpisah namun berusaha disambung-sambungkan oleh aparat keamanan. Yaitu, kejadian demonstrasi dan kejadian bentrok.
Di media massa kejadian demonstrasi dan bentrok seolah satu kejadian, bahkan disebutkan telah menyebabkan dua orang meninggal. Untuk diketahui, informasi korban dua orang meninggal tersebut berasal dari kepolisian. Belum ada informasi solid tentang dua korban tersebut karena penyelidikan mengarah pada pelaku kerusuhan.
Proses hukum di atas, terjadi ketika mereka sedang mencari perlindungan kepada Komnasham dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Mereka masih mengadukan tindakan bejat perusahaan yang melanggar peraturan perundangan dan membiarkan para buruh dalam kondisi berbahaya. Pun mereka tak pernah tahu menahu soal peristiwa bentrok malam hari.
Berdasarkan kronologis yang dirilis SPN (Serikat Pekerja Nasional), mayoritas buruh tidak mengetahui bahkan tidak berada di lokasi ketika bentrokan terjadi. Selaku pengurus SPN PT GNI, Amirullah dan Minggu Bulu, sebagai penanggung jawab aksi massa, memberikan keterangan. Menurut mereka, aksi massa tersebut telah berakhir pada pukul 5 sore waktu setempat. Pembubaran aksi massa itu pun dilakukan di hadapan sejumlah aparat kepolisian dan seluruh peserta aksi.
Setelah aksi massa, barisan massa bubar. Minggu Bulu dan Amirullah pun pulang ke kontrakan masing-masing.
Cerita Minggu Bulu, Amirullah dan buruh lainnya telah menjadi cerita umum. Mereka kerap dijadikan tumbal untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah dalam menindak perusahaan zalim. Perusahaan yang merusak daya dukung alam, melanggar peraturan perundangan dan melucuti hak-hak perburuhan.
Minggu Bulu pernah bercerita. Sebelum bekerja di PT GNI, ia pernah bekerja sebagai buruh tambang di Kalimantan. Setelah itu, ia kerja di PT GNI di Morowali Utara. Di Morowali Utara kian banyak perusahaan tambang beroperasi. Karakter perusahaan tambang memang penuh dengan potensi bahaya. Namun, kondisi di PT GNI adalah yang terburuk.
“Alat Pelindung Diri yang saya pakai waktu kerja di PT GNI, diperoleh dari tempat kerja saya sebelumnya di IMIP,” kata Minggu Bulu mengungkapkan bahwa perusahaan membiarkan buruhnya tidak terlindungi.
Tambang, sebagaimana perusahaan lainnya selalu memberi ilusi: menyediakan lapangan kerja yang luas dan upah tinggi. Fakta berkata lain. Penambangan adalah sektor pekerjaan berbahaya baik ruang kerjanya maupun jenis pekerjaanya. Para buruh di sektor tambang harus berhadapan dengan tingkat kecelakaan fisik, penyakit paru-paru hingga kematian. Alih-alih membayar upah buruh tambah dengan standar tambang internasional, buruh tambang dibayar di bawah upah minimum dan dengan hubungan kerja kontrak. Apabila mereka menuntut kepatuhan perusahaan, malah dipecat bahkan dikriminalkan. PT GNI adalah contoh telanjang dan nyata.
Lokasi PT GNI berada di kawasan Objek Vital Nasional meliputi Kecamatan Petasia Timur dan Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Kawasan Objek Vital Nasional ditetapkan melalui keputusan Menteri Industri Nomor 1194 Tahun 2021 tentang Penetapan Kawasan Industri yang dikelola oleh PT Stardust Estate Investment (SEI) sebagai Objek Vital Nasional Bidang Industri seluas 712,8 hektar. Kawasan tersebut berbatasan langsung dengan teluk, gunung, jalan trans Sumatera serta konsesi sawit PT Agro Nusa Abadi.
Di kawasan PT SEI terdapat tiga perusahaan yang menguasai smelter. Yaitu, PT Gunbuster Nickel Industry dan PT Nadesico Nickel Industry. Masing-masing dengan kapasitas produksi 1,8 juta ton feronikel per tahun. Kemudian PT Ideon Nickel Industry Satu dengan kapasitas 150 ribu ton feronikel per tahun.
Mobilisasi pekerja di bidang industri menurut catatan Disnaker setempat mencapai 11.533 orang. Sebanyak 500 orang adalah TKA, seluruhnya berasal dari Tiongkok. Menurut PT GNI, jika perusahaan telah optimal beroperasi, dibutuhkan sekitar 42 ribu buruh. Jumlahnya dipastikan melimpah jika diakumulasikan dengan buruh perkebunan sawit PT Agro Nusa Abadi.
Dapat dibayangkan, warga desa yang masih bertani dan mencari ikan akan beradapan langsung dengan industri padat modal.
Tidak hanya persoalan buruh. Banyak publikasi mengenai jejak buruk serta jejaring aktor di balik PT GNI. Namun tidak ada satu pun lembaga negara yang sanggup menindak tegas perusahaan asal China ini. Sebaliknya, aparat kepolisian dikerahkan untuk menjamin PT GNI tetap berproduksi, dibanding melindungi keselamatan buruh serta warga terdampak lainnya.
Jika PT GNI terkesan mendapat jaminan untuk terus beroperasi, tidaklah mengejutkan. Nikel adalah komoditas tambang primadona saat ini, terutama untuk bahan baku mobil listrik. Juga, PT GNI adalah salah satu anak perusahaan nikel terbesar di China, yakni Delong Group.
Memproduksi feronikel merupakan salah satu bisnis moncer di abad milenium. Feronikel dari Indonesia digunakan oleh perusahaan di Amerika Serikat, Tiongkok, Eropa dan Jepang. Feronikel dipergunakan sebagai utama dalam industri otomotif, elektronik hingga farmasi. Fungsinya menahan karat dan panas. Barangkali mendekati ungkapan, ‘menguasai nikel berarti menguasai jantung industri modern’. Itulah yang menjelaskan raksasa bisnis tambang bertaruh dalam produksi nikel.
Indonesia sebagai negara penghasil nikel terbesar dunia dengan potensi kandungan nikel sebanyak 11,7 miliar ton, yang tersebar dari Halmahera, Sulawesi hingga pulau Papua, menjadi target empuk Delong Group.
Sejak 2015, tepatnya dua tahun setelah Belt and Road Initiative diluncurkan, Delong Group berhasil melobi para petinggi negeri. Mereka pun menempatkan sejumlah politisi dan pejabat sebagai bagian anak perusahan Delong, PT VDNI, PT GNI, dan PT OSS.
Ketiga anak perusahaan di atas pegang oleh Tony Zhou yang memiliki kedekatan dengan Gubernur Sultra Ali Mazi melalui Yayasan Andrew dan Tony Foundation. Di Yayasan tersebut Ali Mazi menduduki ketua dewan pengawas.
Selain itu, di akta perusahaan PT VDNI, tercatat Friedich Lodewijk Paulus sebagai komisaris. Lodewijk adalah Sekjen Partai Golkar dan tentara yang tergabung dalam Tim Cakra 19, organ Timses Jokowi yang dipimpin Menteri Marives, Luhut Binsar Panjaitan.
Dengan sejumlah relasi yang meyakinkan, dalam perhelatan G 20 di Bali tahun lalu, Dai Guofang pemilik utama Delong Grup sempat berfoto dengan Jokowi. Melalui strategi lobi pejabat dan politisi serta berbagai modus operandinya di lapangan, Delong Group telah berhasil menjadi salah satu pemain besar nikel di negeri ini. Selain beroperasi di Pulau Sulawesi, korporasi ini telah melakukan ekspansi ke Halmahera, pada 2017. Setelah itu, tidak menutup kemungkinan mencaplok Papua.
Anak Delong Group, PT OSS dan VDNI, beroperasi melalui Perpres Nomor 58 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional di kawasan Industri Morosi Sultra.
Selain soal gugatan warga, kasus yang mencuat dari PT OSS dan VDNI terjadi pada 2019 lalu. Polda Sultra pernah menyegel ratusan alat berat dua perusahaan tersebut. Keduanya diduga melakukan penambangan ilegal di kawasan hutan, sebab beroperasi tanpa Izin Pelepasan Pemanfaatan Kawasan Hutan-IPPKH dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, PT VDNI pun pernah melakukan kriminalisasi terhadap 12 buruh yang menuntut hak-haknya.
Dalam catatan Trend Asia, secara umum korban buruh karena K3 di sektor tambang lebih parah. Warga Negara Asing (WNA) meninggal dunia hingga 13 korban dan 15 korban luka. Korban Warga Negara Indonesia (WNI) meninggal dunia hingga 40 korban dan 14 korban luka. Jumlah kewarganegaraan tidak sama dengan jumlah total sebab dalam data yang ditemukan tidak ada informasi identitas lengkap yang mengarah pada kewarganegaraan. Jumlah itu mencakup buruh yang bekerja di IMIP dan PT GNI.
Namun kasus hukum tentang kejahatan korporasi itu menguap. Selain buruh, korporasi tambang juga telah membungkam Budi Pego, petani asal Banyuwangi yang getol menolak tambang emas Tumpang Pitu. Budi Pego kini mendekam di Lapas Banyuwangi, setelah 5 tahun kasusnya dipetieskan atau digantung.
Di balik janji peningkatan ekonomi warga lokal dan kesejahteraan bagi para buruh, sektor tambang justru memiliki risiko paling tinggi. Risiko itu diperarah dengan lemahnya pengawasan serta minimnya tindakan hukum terhadap berbaga pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Industri tambang tidak saja meningalkan jejak kotor bagi lingkungan, juga mempertaruhkan nyawa jutaan buruh lainnya di Indonesia.
Investasi, peningkatan devisa, serapan tenaga kerja dan peningkatan ekonomi warga lokal adalah janji pemerintah, yang untuk memerolehnya harus mengorbankan nyawa dan kebebasan.
Bagi Minggu Bulu, Amirullah dan 17 buruh lainnya, tidak membayangkan akan berada di posisi dan waktu yang salah dalam suatu peristiwa. Mereka selama ini hanya mendengar bahwa tambang menjanjikan kesejahteraan jika mereka bekerja di dalamnya. Berbekal janji itulah, mereka datang ke Morowali Utara, kemudian dipenjara.
Jika janji sekadar janji, bukankah lebih baik buruh dan tani memperkuat diri sendiri akan tidak lagi menjadi sapi perahan di negeri sendiri?
Majalah Sedane