Gambar Ilustrasi
Menurut pengakuan Industri hilir tekstil dan produk tekstil (TPT) kini menanggung kenaikan biaya produksi lebih tinggi hingga 40%
(SPN News) Jakarta, Pelaku industri hilir tekstil dan produk tekstil (TPT) mengklaim bahwa kini mereka menanggung kenaikan biaya produksi lebih tinggi hingga 40% lantaran menggunakan bahan baku lokal. Mereka harus menyerap bahan baku kain domestik pasca penerapan safeguard kain pada 5/11/2019. Safeguard diterapkan lantaran arus impor kain yang deras mengguncang stabilitas struktur industri TPT nasional.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat volume impor kain nasional secara bertahap meningkat sejak 2011. Namun, laju kain impor mulai deras atau tumbuh 10,09% menjadi 698.000 ton pada 2016. Adapun, angka tersebut meningkat pada tahun ini mendekati angka 1 juta ton atau tumbuh sekitar 12,35% secara tahunan. Banjir impor tersebut diyakini terjadi karena efek perang dagang. Kapasitas yang berlebih dan insentif ekspor pemerintah membuat kain dari China memiliki harga yang sangat kompetitif atau hingga 40% dari kain lokal.
Derasnya arus impor tersebut membuat permintaan bahan baku pada industri hulu TPT rendah. Hal tersebut membuat utilitas pabrikan bahkan pernah mencapai di ambang batas atau di level 40%. Alhasil, perumahan tenaga kerja tidak dapat dihindari. Setidaknya 40.000 tenaga kerja pada industri TPT dirumahkan pada tahun ini. Sebagian pelaku industri TPT mendukung adanya perlindungan terhadap industri antara TPT. Namun, efek samping perlindungan tersebut kini telah dirasakan. Seperti obat pahit,
Industri hilir TPT yang telah terkena dampak langsung adalah industri garmen dan alas kaki. Produk hilir TPT yang juga telah merangsek ke dalam negeri membuat daya saing produk TPT lokal makin terpukul. Pabrikan hilir TPT berorientasi lokal pun meminta adanya intervensi pemerintah mengenai naiknya biaya produksi tersebut.
“Besar sekali (pasar alas kaki) domestik kita, cuma daya beli kita kecil. Kalau kemudian tahun depan daya beli masih sama atau bahkan cenderung menurun, pasti secara ekonomi akan mengkhawatirkan,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie baru-baru ini.
Menurutnya, alokasi produksi sepatu ke dalam negeri mencapai 25% dengan asumsi konsumsi sepatu per kapita 2,5 alas kaki. Adapun, Kementerian Perindustrian mendata alokasi produksi ke pasar lokal sekitar 50%—55% dengan asumsi konsumsi sepatu per kapita 3 alas kaki. Nilai ekspor alas kaki pada tahun lalu mencapai US$5,1 miliar. Firman mengatakan nilai pasar alas kaki di dalam negeri tidak jauh berbeda dengan nilai ekspor. Walaupun besar, katanya, konsumen hanya mau membayar sekitar Rp 90.000, – —Rp100.000,- per pasang alas kaki.
Dia mengatakan penerapan safeguard pada industri kain akan membuat harga alas kaki pabrikan lokal lebih dari level Rp100.000,-. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya biaya bahan baku kain untuk sepatu hingga 40% dibandingkan masa pra-safeguard. Menurutnya, tingginya harga bahan baku tersebut tidak bisa dilimpahkan ke konsumen dalam waktu dekat lantaran proses distribusi pada industri alas kaki yang memiliki banyak kontrak berjangka yang sulit diubah.
SN 09/Editor