Aturan upah minimum di Indonesia salah kaprah karena memberlakukan upah minimum berlapis UMP dan UMK juga dasar penghitungan UMP yang dilakukan secara nasional.
(SPN News) Jakarta, Mengacu pada ketentuan upah minimum dunia, ILO sebagai lembaga di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyusun konvensi penetapan upah minimum. Tidak tanggung-tanggung, ada tiga konvensi terkait upah minimum yang diterbitkan pada tahun 1928, 1951, dan 1970. Sejak zaman Presiden Soekarno hingga kini, Indonesia belum meratifikasi bahkan satu saja dari tiga konvensi upah minimum itu. Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13/2003 memang mengatur mengenai upah minimum, tapi belum sesuai dengan standard ILO.
Sebagai contoh, UMP di Indonesia menghitung komponen hidup layak (KHL) lajang, sedangkan KHL menurut standard ILO menghitung kebutuhan satu rumah tangga. Indonesia belum berani masuk ke sana karena khawatir penghitungan KHL rumah tangga berujung pada upah minimum yang lebih tinggi ketimbang KHL untuk lajang. Terkait dengan upah minimum tunggal, dalam konvensi ILO terbaru tahun 1970, yakni konvensi Nomor 131, lembaga tersebut menegaskan bahwa pihaknya tidak mewajibkan upah minimum tunggal dan tidak menganggapnya sebagai model baku.
Namun apakah sistem sekarang UMP dan UMK sudah sesuai dengan idealita ILO? Tidak juga. Dalam rekomendasinya, ILO menegaskan bahwa UMP yang bervariasi semestinya berlaku sesuai konteks sektoral: “either by fixing a single minimum wage of general application or by fixing a series of minimum wages applying to particular groups of workers.” Di Indonesia justru yang terjadi adalah upah minimum berlapis secara vertikal (UMP dan UMK) dan secara bersamaan bervariasi secara horizontal (UMS). Dalam hal ini, Indonesia meski tak meratifikasi konvensi 131 justru terlihat berlebihan hingga melampaui standard ILO.
Aturan upah minimum di Indonesia salah kaprah karena memberlakukan upah minimum berlapis UMP dan UMK. Kuncinya bukan berlapis secara vertikal (menurut wilayah), melainkan beragam secara horizonal (sesuai kondisi tiap industri). Selain itu, sistem upah minimum kita juga canggung karena berusaha melindungi buruh (dengan upah minimum berlapis) tetapi juga memberi ruang bagi pengusaha untuk tak memenuhinya (dengan mekanisme penangguhan dan juga tak meratifikasi konvensi ILO). Indonesia juga menerapkan penghitungan UMP secara nasional melalui PP 78/2015. Padahal seperti disampaikan Ketua Umum SPN, Djoko Heryono, S.H, “Upah Minimum Provinsi (UMP) secara otonom berlaku di provinsi setempat maka indikator nilai kecukupanya adalah dengan mengukur nilai kebutuhan buruh setempat dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas setempat (inflasi daerah setempat dan PDRB) dengan menggunakan rumus upah lama ditambah Inflasi nasional dan PDB maka penyesuaian upah minimum tidak bisa dipertanggung jawabkan sebagai nilai batas minimum sebagai jaring pengaman di satu tempat yang otonom di satu daerah”.
Dalam hal komponen hidup layak, pilihan untuk menggunakan acuan standard hidup lajang juga menjadi bumerang, karena jumlah komponen di dalamnya bisa bertambah dan fluid. Akibatnya, kita mendapati 60 komponen KHL, dan buruh ingin menambah menjadi 78 komponen. Upaya mengakomodir aspirasi buruh dan pengusaha secara bersamaan berujung pada aturan perburuhan yang gemuk, yakni UU Ketenagakerjaan yang berisi 193 pasal dan menjadi UU yang paling sering digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) karena sumirnya ketentuan di dalamnya.
SN 07/Editor