Ideology adalah ide dan gagasan, kata ideology sendiri diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan sains tentang ide. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu secara umum dan beberapa arah filosofis , atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan utama di balik ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekedar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah public sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideology walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.

Bila buruh adalah konsekuensi sebuah ideology, maka perjuangan kelas buruh buruh menjadi niscaya bukan wacana. Karenanya ada satu basis nilai yang lebih unggulkan dibandingkan dengan yang lain sampai titik konsekuensi tertinggi seorang manusia yaitu mati sebagai tumbal dalam perjuangannya. Dalam hal ini kematian bukan sesuatu yang harus ditakuti, tetapi dikejar karena bagaimana pun setiap yang bernyawa akan mati. Tugas manusia yang hidup adalah bagaimana memperbaiki kualitas hidup agar dapat meninggalkan warisan yang indah bagi anak cucunya kelak.

Perjuangan, kematian dan transendensi adalah sebuah rangkaian takdir kemanusiaan yang sambung menyambung. Kita punya pilihan untuk membela nasib manusia (yang mempunyai profesi) buruh sebagai tanggung jawab kemanusiaan kita. Ini yang dilakukan oleh Chun Te-il tokoh besar perjuangan buruh Korea yang mati muda akibat membakar diri dalam usia 22 tahun saat berhadapan dengan penguasa, begitu pula dengan Sabastian Manuputy yang mungkin bagi sebagian dari kita menyatakan bahwa apa yang dilakukan dia dalam peringatan MayDay di GBK 1 Mei 2015 adalah merupakan suatu kebodohan. Tetapi ini menggambarkan bahwa masuk serikat bukan lagi wacana karena melalui oraganisasi SP/SB lah perjuangan buruh menjadi lebih bermakna. Setiap gerakan pasti berkonsekuensi ke darah daging juga sehingga teologi dan kultur kita meresap didalamnya.

Baca juga:  MENCARI KEADILAN di PHI MEDAN

Ideologi buruh tidak hanya ditemui dan dirasakan dalam ruang rapat, aksi peringatan MayDay, audiensi dengan parlemen atau training legislasi. Itu semua Cuma program teknis. Bentuk, besaran dan dinamikanya bisa beragam. Kegiatan semacam ini bisa berlangsung karena mungkin akibat efek sentimental buruh bergaji rendah. Bila kita bergaji belasan juta atau dua puluhan juta rupiah sedangkan pada saat yang sama UMK hanya 1 juta sampai 3 juta rupiah saja, belum tentu aksi buruh bisa terlaksana. Jangankan membuat aksi mungkin sekedar berkumpul juga akan sulit, akan muncul alasan-alasan pribadi agar dimaklumi untuk tidak dapat menghadiri acara tersebut. Seperti juga realita sekarang yang banyak berpendapat bahwa buruh itu hanya orang-orang yang bekerja di pabrik saja yang jelas adalah pemahaman yang sangat keliru.

Ini menggambarkan bahwa alam sadar kita masih dalam jaring kapitalisme. Ada posisi dalam struktur sosial yang kita nikmati dan tidak ingin kita ubah, kalau menurut istilah Lenin masih ada pemikiran-pemikiran borjuis dalam benak kita sehingga kita ambigu dalam bersikap. Perasaan yang mapan dalam kondisi ini disebut feodal citra kapitalis dalam wajah kultural. Inialah yang akhirnya menghambat kenapa gerakan buruh tidak muncul secara milita dan progresif. Kalaupun muncul hanya sporadis dan terakumulasi pada buruh yang bergaji rendah, yang memang terpaksa harus melawan pengusaha dan pemerintah dari pada mati perlahan-lahan.

Baca juga:  MENIMBA ILMU DEMI PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA ANGGOTA

Buruh feodal itu bukan orang bodoh, bukan orang yang tidak mempunyai struktural dan bukan pula orang yang tidak mempunyai hati nurani, namun watak ingin selamat sendiri dan perlakuan istimewa dari managemen membuat rasa kemanusiaannya menghilang. Apa yang bisa kita tuntut dari orang-orang yang hanya sibuk bekerja dan pada hari liburnya hanya dihabiskan dengan berkumpul bersama keluarganya ?, begitu pula dengan buruh penjilat yang pintar membaca situasi atau dalam istilah Chun Tae-il “orang pintar dan bijaksana”, sedangkan bagi buruh yang melawan adalah orang yang bodoh yang begitu saja melawan managemen karena memperjuangan keadilan dan kesejahteraan.

Pemerintah dan pengusaha juga tidak kalah gesitnya dalam mensiasati kondisi ini, panggung musik dan kompetisi olahraga diadakan dalam memyambut hari buruh, kesannya baik tetapi niatnya adalah untuk memecah konsentrasi buruh agar mereka sibuk ditempatnya masing-masing dan tidak termobilisasi dalam sebuah aksi massa.

Perjuangan manusia sepanjang hayat adalah mancapai kemerdekaan tentu saja kemerdekaan dalam arti dan makna yang luas dan tentu saja menuntut pengorbanan. Batas akhir pengorbanan adalah kemenangan atau kematian. Kematian di jalan kebenaran membela nilai-nilai kemanusiaan.

Shanto dari berbagai sumber/Coed