(SPN News) Jakarta, hal yang melandasi hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan adalah perjanjian kerja. Perjanjian kerja inilah yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Di Indonesia, pengertian tentang perjanjian kerja dapat kita ambil, antara lain dari dua sumber. Sumber pertama yakni UU N 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan , dan KUH Perdata.

Dalam UU No 13/2003 Pasal 1 angka 14 mengatakan bahwa :
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.”
Sementara dalam KUH Perdata Pasal 1601a mengatakan bahwa :
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak ke-1 (satu)/buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”

Dalam UU Ketenagakerjaan , kita akan tahu bahwa ada tiga unsur hubungan kerja yang terdapat dalam perjanjian kerja. Ketiganya ialah unsur pekerjaan, unsur upah, serta unsur perintah. Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan menyatakannya sebagai berikut:
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”

Namun, apabila kita mencermati pengertian perjanjian kerja dalam KUH Perdata , ada satu unsur hubungan kerja lainnya, yaitu waktu. Unsur waktu menandai lamanya periode perjanjian kerja tersebut berlaku bagi kedua belah pihak, yakni:
40 jam perminggu
7 jam perhari untuk pola keja 6:1
8 jam perhari, untuk pola kerja 5:2
ada hak cuti/istirahat (istirahat antar jam kerja, istirahat mingguan, dan istirahat tahunan, istirahat alasan penting (yang ditentukan Undang-Undang/diperjanjikan).

Baca juga:  3.020 PEKERJA DI TANGSEL DIPHK SELAMA PANDEMI COVID-19

Untuk lebih memahami unsur-unsur hubungan kerja, sebaiknya kita simak penjelasan berikut:

1. Pekerjaan
Adanya pekerjaan tertentu yang harus diselesaikan atau dilakukan oleh pekerja adalah unsur dalam sebuah hubungan kerja. Dengan disepakatinya perjanjian kerja oleh kedua belah pihak, maka pekerja terikat kewajiban untuk melakukan pekerjaan. Pasal 1603 KUH Perdata mengaturnya sebagai berikut :

“Buruh wajib melakukan pekerjaan yang diperjanjikan menurut kemampuannya dengan sebaikbaiknya. Jika sifat dan luasnya pekerjaan yang harus dilakukan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau reglemen, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan”.

Pekerjaan tersebut wajib dikerjakan sendiri oleh pekerja. Pasal 1603a KUH Perdata menyatakan:

“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannnya”.
Atas tenaga, waktu, serta keahlian yang dikerahkan untuk pekerjaan itulah, pekerja berhak mendapatkan upah.

2. Upah
Definisi upah berdasarkan Pasal 1 angka 30 dalam UU Ketenagakerjaan ialah :

“hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja /buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.

Baca juga:  WALAUPUN DIPHK DAN TIDAK PUNYA PENGHASILAN, TETAP WAJIB LAPOR SPT

Ada beberapa kebijakan pemerintah yang perlu diperhatikan untuk menetapkan upah untuk pekerja, antara lain kebijakan tentang UMP (Upah Minimum Provinsi), tentang
struktur dan skala pengupahan , dan lain sebaginya.

3. Perintah
Unsur perintah dalam sebuah hubungan kerja artinya ada pihak yang memberi perintah dan ada yang wajib melakukan perintah itu, yaitu pekerja. Unsur perintah dapat dimaknai luas, misalnya berupa target kerja, instruksi, dan lain-lain. Kewajiban pekerja untuk tunduk pada perintah perusahaan/ majikan ini antara lain diatur dalam KUH Perdata Pasal 1603b :

“Buruh wajib menaati aturan-aturan pelaksana pekerjaan dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk perbaikan tata tertib perusahaan majikan yang diberikan oleh atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan perundang-undangan, perjanjian atau reglemen, atau jika ini tidak ada, dalam batas-batas kebiasaan”.

Jika kita cermati kembali definisi perjanjian kerja dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, akan tampak adanya faktor “waktu” yang perlu dinyatakan dalam perjanjian tersebut. Namun, apabila waktu/ lamanya hubungan kerja tidak disebutkan dalam perjanjian atau peraturan undang-undang, maka yang berlaku adalah menurut kebiasaan (KUH Perdata Pasal 1603e ). Dan, jika masih tidak dapat ditetapkan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tentu sampai dinyatakan putus ( KUH Perdata Pasal 1603g).

Shanto dari berbagai sumber/Editor