Ilustrasi
Untuk mengantisipasi potensi kerugian lebih besar, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta BPJS Ketenagakerjaan alias BP Jamsostek segera membuat mekanisme cut loss secara jelas dan tegas pada investasi saham dan reksadana.
(SPNEWS) Jakarta, untuk mengantisipasi potensi kerugian lebih besar, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta BPJS Ketenagakerjaan alias BP Jamsostek segera membuat mekanisme cut loss secara jelas dan tegas pada investasi saham dan reksadana.
“Kemudian mempertimbangkan untuk melakukan take profit atau cut loss pada saham-saham yang tidak ditransaksikan antara lain saham Salim Ivomas Pratama (SIMP), Karakatau Steel (KRAS), Garuda Indonesia (GIAA), Astra Agro Lestari (AALI), London Sumatera Indosia (LSIP), dan Indo Tambangraya Megah (ITMG),” tulis BPK dalam laporan ikhtisar hasil pemeriksaan (IHPS) Semester II 2020 yang dikutip pada (23/6/2021).
Selain itu, BPK meminta BPJS untuk melakukan rekomposisi kepemilikan reksadana guna mengantisipasi terjadinya ketidakstabilan kondisi pasar dengan mempertimbangkan risiko dan hasil investasi yang lebih optimal.
“Kemudian menyusun dan menerapkan langkah-langkah pemulihan unrealized loss secara rinci dan tidak hanya menggantungkan pada faktor uncontrollable seperti IHSG serta memulihkan likuiditas dan solvabilitas program JHT minimal pada angka 100 persen,” jelas BPK.
Menurut BPK, tata kelola investasi lembaga ini belum sepenuhnya memadai. Akibatnya, BPJS kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil pengembangan dana secara optimal karena ketidakjelasan dalam penentuan keputusan cut loss atau take profit.
“Hal ini mengakibatkan, BPJS menanggung risiko tinggi apabila reksadana yang dimiliki 100 persen mengalami penurunan kinerja atau rugi tanpa adanya sharing risiko dengan pihak lain,” lanjutnya.
Dengan potential loss yang tinggi dari investasi tersebut, BPJS berpotensi tidak dapat memenuhi amanat dari para peserta program jaminan sosial terutama program jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun (JP).
Sebelumnya, BPK telah menemukan permasalahan dalam pengelolaan investasi BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2018 – 15 November 2020. Pada semester II 2020 lalu, BPK telah menyampaikan hasil pemeriksaan pengelolaan investasi dan operasional tersebut.
Tiga permasalahan yang mendapat perhatian yakni tata kelola investasi BPJS yang belum memadai. Kemudian Strategic Asset Allocation (SAA) dan Tactical Asset Allocation (TAA) BPJS TK yang belum optimal untuk mencapai tingkat pengembalian portofolio investasi.
Ditambah lagi, realisasi beban representasi manajemen yang tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban yang lengkap dan benar, mengakibatkan beban representasi sebesar Rp 22,14 miliar belum dapat diyakini kebenarannya, meliputi beban representasi direksi sebesar Rp 13,49 miliar.
“Selanjutnya, beban representasi dewan pengawas termasuk gabungan dewas senilai Rp8,65 miliar, serta beban representasi diberikan secara tunai kepada direksi sebesar Rp 9,39 miliar tidak akuntabel,” ungkap BPK.
BPK merekomendasikan kepada Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan untuk menetapkan pedoman penyusunan anggaran, tata cara pencairan dan verifikasi beban representasi.
Kemudian meminta direksi dan dewan pengawas mempertanggungjawabkan penggunaan dana sebagai beban representasi dengan melengkapi bukti pendukung secara at cost.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan pengelolaan investasi dan operasional BPJS Ketenagakerjaan mengungkapkan 20 temuan yang memuat 45 permasalahan dengan nilai Rp13,58 miliar.
Permasalahan tersebut meliputi 31 permasalahan kelemahan satuan pengawas internal (SPI), 12 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp 6,61 miliar, dan 2 permasalahan ekonomis, efisiensi dan efektivitas (3E) sebesar Rp 6,97 miliar.
“Selama proses pemeriksaan berlangsung, BPJS telah menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan melakukan penyetoran ke kas negara atau perusahaan sebesar Rp 2,81 miliar,” tutup BPK.
SN 09/Editor