Ilustrasi
Lembaga riset The SMERU Research Institute menemukan sejumlah pekerja anak di wilayah perkebunan tembakau bekerja dalam situasi dan kegiatan yang dianggap berbahaya.
(SPN News) Jakarta, Lembaga riset The SMERU Research Institute menemukan sejumlah pekerja anak di wilayah perkebunan tembakau bekerja dalam situasi dan kegiatan yang dianggap berbahaya.
Sebanyak 70,2 persen dari sampel pekerja anak di perkebunan tembakau melaporkan setidaknya satu kondisi yang dianggap berbahaya dialami mereka. Situasi itu antara lain terpapar debu dan asap, bekerja dalam temperatur tinggi, mengangkat beban berat. Kemudian mereka bekerja dalam pencahayaan kurang dan minim ventilasi hingga penggunaan bahan kimia, benda tajam dan peralatan berbahaya lainnya.
Temuan itu berdasarkan “Studi Baseline mengenai Pekerja Anak di Wilayah Perkebunan Tembakau di Indonesia” yang dirilis Juni 2020. Studi tersebut mencermati dampak pelaksanaan program Kemitraan Strategis untuk Menanggulangi Pekerja Anak di Pertanian (KESEMPATAN) di lima kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Program itu diluncurkan oleh Jaringan LSM untuk Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK).
“Banyak dari mereka beranggapan bahwa anak berusia di bawah 15 tahun boleh bekerja, sementara lebih dari setengahnya mengizinkan keterlibatan anak dalam pemrosesan daun tembakau,” jelas SMERU dalam riset yang diunggah ke situs resmi, dikutip (24/6/2020).
Berdasarkan studi itu, prevalensi pekerja anak lebih tinggi di Lombok Tengah (70,4 persen) daripada di Probolinggo (10,7 persen). Hal itu kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kapasitas produksi dan motivasi pekerja anak dalam bekerja.
Selanjutnya, SMERU merekomendasikan para pelaksana program KESEMPATAN perlu mengoptimalkan kerja sama dengan sektor swasta ketika memilih desa intervensi untuk menekan jumlah pekerja anak. Kemudian, memastikan aparat desa dan kader tingkat lokal memahami tujuan program intervensi untuk menghindari adanya salah sasaran; mendengarkan perspektif anak dan orang dewasa mengenai pusat kegiatan masyarakat; dan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam menjalankan program intervensi.
Sebagai informasi, studi dilakukan dengan metode campuran (mixed-method), yaitu metode kuantitatif melalui survei 500 rumah tangga petani dan buruh tani tembakau di 16 desa dan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dengan pelaksana program serta aparat desa dan masyarakat.
Pengumpulan data dilakukan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat pada Desember 2019. Tepatnya, setelah musim tembakau berakhir dengan membandingkan prevalensi pekerja anak seminggu sebelum survei dan enam bulan sebelum survei.
SN 09/Editor