Pekerja perempuan rentan diskriminasi dan eksploitasi
(SPN News) Jakarta, (7/05/2018) Para pekerja perempuan yang jumlahnya hampir 40 persen dari total pekerja ini sangat rentan mengalami eksploitasi dan diskriminasi. Mereka juga mempunyai peran ganda dan rentan terpapar bahaya di tempat kerja di samping secara alamiah mengalami fase haid, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui.
Peran ganda pekerja perempuan menjadi masalah utama yang dihadapi oleh pekrja perempuan. Sebagai pekerja, perempuan juga memiliki beban dalam meneruskan generasi penerus yang akan datang, karena mereka memegang peranan penting sebagai ibu rumah tangga.
Sementara itu, dilansir dari Labor Institute Indonesia menyatakan, ada tiga permasalahan mendasar yang masih dialami para pekerja Indonesia di tempat kerja, yakni kekerasan berbasis gender, sulit mendapatkan hak maternity dan sulit mendapatkan Hak Kepesertaan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).
Dalam beberapa kasus yang diamati Labor Institute Indonesia, kekerasan berbasis gender tersebut berupa pelecehan seksual. Dalam kasus pelecehan seksual di tempat kerja rata-rata buruh perempuan tak mau melapor karena takut kehilangan pekerjaan.
Ketimpangan juga kerap terjadi ketika pekerja perempuan yang sudah berkeluarga masih dianggap lajang, walaupun pekerja perempuan tersebut sebagai pencari nafkah utama di keluarga. Selain itu juga perekrutan pekerja perempuan khusus lajang dan tidak boleh melahirkan dalam kurun waktu tertentu.
Hak maternity juga merupakan masalah yang sering dijumpai dalam hubungan industrial di tempat kerja. Seperti dalam industri manufaktur, hak untuk mendapatkan cuti haid, melahirkan, hingga penyediaan tempat bagi ibu menyusui juga masih sulit.
Beberapa kasus yang disebutkan bahwa tidak sedikit buruh perempuan yang akan melahirkan dipaksa mengundurkan diri.
Masalah lain adalah sulitnya akses untuk mendapatkan perlindungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) baik BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan juga masih dialami pekerja perempuan khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit.
Buruh perempuan dengan alasan status pekerja borongan dan yang sudah berkeluarga dianggap lajang merupakan alasan manajemen untuk tidak memberikan hak BPJS para buruh perempuan tersebut.
Faktor lain adalah soal keamanan kerja, terutama jika sedang bekerja lembur sampai larut malam. Tak jarang dengan alasan lelah, suami tidak bersedia menjemput sang istri di tempat kerjanya. Atau, karena bekerja adalah pilihan dan keputusan istri, maka pulang larut malam adalah risiko yang harus ditanggungnya sendiri.
Karena itu perlu ada perlakuan khusus terkait perlindungan kesehatan bagi pekerja perempuan, yang sebetulnya telah diatur dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Semua Perempuan (CEDAW).
Dalam Pasal 11 menjelaskan nondiskriminasi dalam pekerjaan, kesehatan dan keselamatan di tempat kerja, melarang pemecatan selama kehamilan dan cuti hamil, cuti hamil yang dibayar, layanan yang memungkinkan perempuan untuk menggabungkan kewajiban keluarga dan bekerja (fasilitas perawatan anak), juga perlindungan terhadap jenis pekerjaan yang berbahaya selama kehamilan.
Di Indonesia, konvensi ini kemudian diperkuat dengan Undang Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 153 ayat satu (1), disebutkan perusahaan dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja atau buruh dengan alasan maternity seperti hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui.
Oleh karena itu penting sekali pemerintah untuk secara aktif menyelesaikan persoalan – persoalan yang dihadapi oleh pekerja perempuan. Pemerintah melalui dinas yang terkait yaitu pengawas ketenagakerjaan harus mengawasi secara ketat agar perusahaan mau menjalankan dan memenuhi hak – hak pekerja perempuan, karena di tangan pekerja perempuan ini tergantung dua hal penting bangsa yaitu ekonomi dan keberlangsungan generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Shanto dari berbagai sumber/Editor