Banyak perubahan yang berakibat semakin tidak jelasnya masa depan bagi buruh
(SPN News) Jakarta, Dalam RUU Omnimbus Law banyak memuat perubahan pasal yang membuat nasib pekerja/buruh semakin terpuruk. Seperti perubahan Pasal 59 UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan yang mengatur syarat dan batasan status pekerja kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dalam RUU Cipta Kerja dihapus. Sementara bunyi Pasal 56 ditambahkan poin yang mengatakan bahwa jangka waktu PKWT ditentukan berdasarkan kesepakatan pekerja dan pemberi kerja.
Aturan tersebut tentu saja membuka peluang pengusaha memperkerjakan karyawan kontrak untuk segala jenis pekerjaan, bahkan di bidang inti usaha, dan memberlakukan status PKWT terus-menerus tanpa batas waktu.
Selain itu RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga mengubah bunyi Pasal 93 Ayat 2 UU No 13/2003 tentang pembayaran upah ketika pekerja berhalangan. Kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah bagi pekerja yang cuti karena haid pertama, menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan, melahirkan, keluarga meninggal, ibadah, atau studi pendidikan, dihapus. Upah tetap dibayar hanya jika izin berhalangan tersebut telah mendapat persetujuan pengusaha. Belum lagi perubahan Pasal 77-79 yang berpotensi memperpanjang waktu kerja. Dalam aturan tambahan Pasal 77 A disebutkan bahwa pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja melebihi ketentuan untuk pekerjaan tertentu. Batasan lembur dalam Pasal 78 yang sebelumnya maksimal selama 3 jam ditambah menjadi 4 jam. Sementara kewajiban pengusaha untuk memberi hari libur hanya satu hari dalam satu minggu.
Ada juga perubahan dalam pengaturan upah minimum dan skema kenaikan upah per tahunnya. Upah minimum tak lagi berdasar Upah Minimum Kota (UMK), namun hanya mengikuti Upah Minimum Provinsi. Pada Pasal 88 B berbunyi bahwa upah ditetapkan berdasar satuan waktu dan atau satuan hasil sehingga membuka peluang upah dihitung per jam atau per hasil kerja. Dalam aturan berikutnya, Pasal 88 E menyebut bahwa upah minimum untuk industri padat karya seperti industri garmen atau tekstil akan diatur tersendiri. Sementara kenaikan upah, dalam rancangan omnibus law, hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi daerah tanpa menghitung laju inflasi, sehingga muncul pertanyaan bagaimana kenaikan upah pada daerah yang pertumbuhannya minus.
Dam harus diingat bahwa aturan-aturan tersebut tentu saja tak hanya berlaku bagi buruh pabrik, tapi juga para pekerja dan siapa pun yang menggantungkan hidup dari menerima gaji. Kerja di kantor, di start-up, atau pun di pabrik sama saja karena tak ada lagi upah sektoral.
SN 09/Editor