Defisit BPJS Kesehatan setiap tahun selalu bertambah
(SPN News) Jakarta, BPJS Kesehatan telah memasuki usai lima tahun, sejak bertransformasi dari PT Askes (Persero) pada 1 Januari 2014 lalu. Namun, persoalan defisit yang didera BPJS Kesehatan tidak bisa dibilang remeh. Ibarat penyakit, defisit pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini kian hari kian menahun. Tengoklah, setelah defisit Rp 3,3 triliun pada tahun pertamanya, di 2014 lalu, defisitnya kian bengkak hingga menyentuh Rp 5,7 triliun pada 2015. Kemudian, menjadi Rp 9,7 triliun pada 2016 dan Rp 9,75 triliun pada 2017. Untuk tahun ini, defisit diproyeksikan mencapai Rp16,5 triliun, yang belakangan dikoreksi hanya tersisa Rp10,98 triliun berdasar hitung-hitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dalam rapat di DPR pada (18/9) kemarin, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut besaran klaim yang dibayarkan perusahaan selalu lebih besar ketimbang iuran yang diterima dari pesertanya. Sederhananya, besar pasak dari tiang. Harap maklum, pesertanya bejibun. Data resmi melansir jumlah peserta BPJS Kesehatan tembus 204,4 juta jiwa hingga pertengahan September ini. Separuh dari jumlah itu atau sekitar 118 juta merupakan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat miskin.
Sudah barang pasti, iuran yang dibayarkan pun relatif murah meriah. Cuma Rp 25.500,- per bulan. Itu pun, bukan masyarakat miskin yang harus merogoh kocek mereka sendiri, melainkan pemerintah melalui APBN atau APBD. Di sisi lain, BPJS Kesehatan menggunakan prinsip anggaran berimbang, dimana pos pengeluaran harus sama dengan pos pendapatan. Sayangnya, prinsip ini sekadar konsep di atas kertas. “Sebetulnya titik masalahnya terletak di besaran iuran saat ini yang belum sesuai dengan hitungan aktuaria,” ujar Fachmi.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Agus Pambagio mengaku telah lama mengkritisi mekanisme BPJS Kesehatan. Bahkan, sejak diterbitkannya Undang-Undang No 24/2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial. Menurutnya, besaran iuran yang murah akan menjadi petaka bagi keuangan BPJS Kesehatan.
Saat ini, iuran kelas I, kelas II, dan kelas III BPJS Kesehatan yang masing-masing bernilai Rp80 ribu, Rp51 ribu, dan Rp25.500. Jumlah itu dianggap rendah sekali. Padahal, hampir seluruh penyakit ditanggung BPJS Kesehatan. Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan No 28/2014, 155 penyakit ditangani oleh BPJS Kesehatan bagi peserta iuran kelas I.
“Mereka disuruh untuk menangani berbagai penyakit, namun iurannya kecil. Ini celaka, sejak awal memang sudah saya ingatkan ketika memberi masukan di UU BPJS,” terang Agus.
Apalagi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan jarang dilakukan. Sementara, pelayanan kesehatan mengalami inflasi setiap tahunnya. Sekadar mengingatkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan terakhir kali terjadi 1 April 2016 silam.
Tak hanya itu, kepatuhan peserta membayar iuran pun dipertanyakannya. Dalam sebuah observasi yang dilakukan timnya beberapa waktu silam, peserta BPJS Kesehatan malas membayar iurannya, meski sebelumnya telah mengklaim fasilitas BPJS Kesehatan dalam jumlah besar.
“Ada yang sampai klaim hemodialisis sampai ratusan juta pakai BPJS Kesehatan, tapi begitu sembuh tidak mau mengiur lagi. Memang, diperlukan tindakan tegas bagi peserta seperti ini,” tegas dia.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar membenarkan bahwa defisit juga dikarenakan masalah iuran yang rendah. Namun, bak buah simalakama, pemerintah tentu tidak mau menyesuaikan tarif iuran BPJS Kesehatan menjelang tahun politik.
Padahal, di dalam pasal 16i Perpres No 111/2013, penyesuaian tarif perlu dilakukan dua tahun sekali. “Sekarang ini kenyataannya tidak dinaikkan, tentu tidak dipungkiri bahwa ini menjelang tahun politik. Kalau dinaikkan iurannya tentu pemerintah khawatir tidak akan dipilih lagi,” katanya.
Selain masalah iuran yang rendah, defisit juga disumbang oleh sistem klaim dari rumah sakit yang menggunakan aplikasi Indonesia Case Base Groups (Inasibijis). Sistem ini disebutnya membuka celah rumah sakit untuk melakukan kecurangan (fraud), sehingga klaim yang dibayar BPJS Kesehatan membengkak. Ambil contoh, rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tercatat 12 persen di tahun lalu. Namun, angkanya malah naik 15,6 persen pada tahun ini. Peningkatan rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan ini tentu bisa meningkatkan jumlah klaim yang dibayar BPJS Kesehatan.
Tak sampai disitu, ia juga mensinyalir manajemen BPJS Kesehatan tak becus dalam menarik tunggakan iuran peserta. BPJS Watch melansir tunggakan iuran peserta mandiri dan korporasi, termasuk perusahaan BUMN, sampai 31 Mei 2018 mencapai Rp3,4 triliun.
“Selain itu, juga ada masalah pemerintah daerah yang menunggak Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan sebagainya. Ini juga bikin defisit. Padahal, sebetulnya, piutang (tunggakan iuran peserta) mereka banyak,” ucap Timboel.
Ironisnya, setelah negara menanggung peserta PBI lewat APBN dan APBD, kini negara juga harus menanggung defisit BPJS Kesehatan. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menuturkan pemerintah akan segera mencairkan suntikan modal senilai Rp4,99 triliun kepada BPJS Kesehatan. Dana itu berasal dari cadangan APBN 2018.
Tak cuma itu, pemerintah juga merevisi Perpres No 111/2013 tentang JKN agar pajak rokok dapat menambal defisit BPJS Kesehatan. Dengan aturan ini, sebanyak 75 persen dari setengah penerimaan pajak rokok daerah dialokasikan ke BPJS Kesehatan.
Cara lain untuk menutup defisit, Agus Pambagio mengusulkan menindak tegas peserta yang nakal karena tidak membayarkan iuran. Tindakan tegas bisa berupa denda. Cara lainnya, menaikkan iuran untuk peserta kelas I.
“Peserta kelas I artinya mampu dong. Seharusnya, mereka baik-baik saja ketika pemerintah melakukan penyesuaian iuran. Di samping itu juga membatasi jumlah penyakit yang ditanggung BPJS Kesehatan,” imbuhnya.
Shanto dikutip dari berbagai sumber/Editor