Semua orang menyadari bahwa nasib buruh pada umumnya lebih dekat ke buntung dari pada untung. Buruh sudah lama ditekan, diperas dan ditindas sampai usia produktifnya habis di perusahaan. Setelah lemah dan menua akan dianggap ampas dan tidak berguna, dibuang dan dilupakan oleh perusahaan Bila statusnya pekerja tetap mungkin akan diberi uang pesangon sebagai penghargaan atas masa baktinya, tetapi dengan kebutuhan hidup yang terus naik tanpa jaminan sosial dari pemerintah maka uang tersebut tidak akan berarti banyak. Walaupun sekarang ada Program Jaminan Pensiun dari BPJS itu pun nilainya masih sangat kecil dan harus jadi peserta minimal 15 tahun. Jatuh sakit dapat membuat buruh langsung jatuh miskin, bila ia pekerja kontrak sudah jelas nasib lebih buruk akan menimpa dirinya sampai liang lahat.
Buruh tidak punya masa depan yang jelas karena rekeningnya nol. Gaji yang diterima sering kali habis dalam hitungan belasan hari, tengah bulan kita akan mencari pinjaman pada koperasi atau lintah darat yang seringkali membebankan bunga yang diluar batas kewajaran. Dengan asumsi bahwa buruh tidak menanggung semua resiko usaha, persaingan usaha yang meningkat tajam, bahan baku yang langka dan mahal, pengusaha berhitung rasional untuk mempekerjakan buruh tanpa harus mengangkatnya sebagai karyawan tetap. Buruh dikontrak selama dua tahun, bila kinerjanya memuaskan, buruh itu akan dikontrak kembali untuk satu tahun berikutnya. Perusahaan memberi kesempatan kepada buruh kontrak untuk bekerja di lokasi lain dan upah yang lebih baik. Sering juga perusahaan memanggil kembali karena performa yang baik. Nominal upah sesuai isi kontrak yang angkanya biasanya tidak berbeda jauh dengan isi kontrak pertama, kecuali mengikuti standar inflasi. Perusahaan tidak perlu memikirkan berbagai tunjangan yang membebani biaya produksi. Selain perekrutan langsung pengusaha juga dapat memborongkan pekerjaan tersebut kepada perusahaan yang menyediakan tenaga kerja (outsourcing). Dengan masa kerja yang terbatas , perusahaan membebaskan diri dari berbagai kewajiban yang lazimnya mereka berikan kepada buruh/pekerja tetap seperti : pelatihan, tunjangan tetap/tidak tetap, fasilitas dll.
Bagi pengusaha sudah selayaknya buruh berterima kasih kepada mereka karena buruh masih bisa hidup minimal untuk menghasilkan kerja maksimal, bandingkan dengan banyaknya pengangguran di luar pabrik yang susah mencari makan. Perusahaan memaksa buruh memberi penilaian normatif “masih untung bisa bekerja di perusahaan ini”, pada saat yang sama perusahaan meminta agar buruh menilai secara proporsional bahwa “selayaknya kita bekerja keras karena perusahaan telah menggaji kita”.
Efek psikologis buruh terhadap pengusaha adalah hutang budi, ketergatungan. Efek ini semakin menjerat ketika pengusaha masih terkait hubungan keluarga dengan buruh tersebut, atau titipan dari mitra kerja, sehingga menguatlah stigma bahwa PEKERJAAN adalah kebutuhan sepihak buruh saja. Buruh tidak menyadari bahwa perusahaan membutuhkan buruh agar mesin produksi berjalan. Hubungan yang intensif dengan landasan kerancuan berfikir mengkondisikan kesungkanan penerima upah/buruh/pekerja untuk mengkritik sistem dan perlakuan dari pemberi upah/pengusaha. Semakin dekat hubungan personal antara pengusaha dengan buruhnya, maka buruh semakin tidak nyaman untuk meminta PENYESUAIAN UPAH.
Shanto dari berbagai sumber/Coed