Smelter akan dibangun di daerah lingkar tambang Kecamatan Maluk, SPN KSB menuntut agar penyerapan tenaga kerja lokal diprioritaskan

(SPN News) Sumbawa Barat, DPC SPN Kabupaten Sumbawa Barat memandang penting terkait pembangunan smelter yang akan di bangun di Daerah lingkar tambang Kecamatan Maluk. Terlepas dengan kontroversi apapun saat ini atas rencana pembangunan industri smelter di KSB, namun kepentingan lain yang jauh lebih penting adalah penyerapan tenaga kerja.

Hal ini disampaika oleh Ketua DPC SPN Sumbawa Barat Benny Tanaya menurutnya, ada harapan besar masyarakat KSB untuk menatap masa depan dan keberlangsungan hidup lebih sejahtera. seperti pernah terjadi pada sejak tahun 1999 sampai dengan akhir tahun 2016 saat tambang Batu Hijau di kelola Newmont Nusa Tenggara. Bahwa telah Terjadi perputaran ekonomi dan menyumbang kontribusi sumberdaya yang cukup bagi kesinambungan maupun peradaban wilayah-wilayah eksploitasi tambang, dan itu kita sadari serta diakui.

“Smelter di KSB sebetulnya sudah menjadi rencana besar perusahaan tambang dan pemerintah semenjak berlakunya UU No 4/2009 tentang Minerba. Merujuk Pasal 170 UU Minerba yang menyebutkan, Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. ini memberi syarat sebagai keharusan perusahaan tambang yang beroperasi di negara ini untuk tunduk kepada UU yang walaupun dalam kasus pembangunan smelter di KSB sudah lama tertunda tanpa memberi sanksi kepada perusahaan tambang itu sendiri,” ungkap Benny melalui pres rilisnya, (7/2).
Diketahuinya, tahun 2018 lalu DPR melakukan revisi atas UU No 4/1999 tentang Minerba bahwa dalam pointer revisi terkait smelter yaitu pengolahan dan pemurnian, pemegang KK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian paling lama 2 tahun sejak UU ini diundangkan.

Baca juga:  HPPI DAN REKTOR UNIVERSITAS PRASETYA MULYA DUKUNG RUU CIPTA KERJA

Adapun bagi KK, IUP, dan IUPK yang telah atau sedang membangun smelter, bisa menjual produk hasil pengolahan dalam jumlah tertentu ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak UU ini diundangkan.

“Ini juga adalah pasal yang tidak konsisten dan masih berlaku sama seperti sejak UU Minerba ini diberlakukan tahun 1999 atau saya menyebutkan bahwa sejak UU ini direvisi maka tahun 2018 sampai tahun 2020/2021 kembali pemerintah masih memberi dispensasi/ijin kepada perusahaan tambang untuk eksport konsetratnya,” paparnya.

PT Aman Mineral Nusa Tenggara selaku perusahaan pemegang lisensi pengelolaan tambang batu hijau saat ini sedang mengajukan kuota ekspor konsentrat perusahaannya sebesar 336 ribu ton untuk selama setahun di 2019. Ini lebih rendah dari kuota tahun lalu yang mencapai 450.826 ton konsentrat. Setiap tahun sampai sebelum smelter dibangun eksport konsentrat dilakukan perusahaan semakin menunjukkan bahwa adanya ketidakpatuhan perusahaan kepada perintah UU karena dengan cara eksport konsentrat adalah cara mudah bagi perusahaan untuk meraih keuntungan dibandingkan membangun smelter yang akan menelan biaya lebih dari 1,2 Triliun Rupiah.

Baca juga:  UPAH MURAH SEBAGAI PERBUDAKAN MODERN

“Jika Pemerintah konsisten dengan UU tersebut bahwa Pengajuan kuota eksport tersebut harus dihentikan dan tidak memberi dispensasi kembali agar keseriusan perusahaan tambang ini dapat tercapai,” imbuhnya.

Dia menambahkan, bahwa hal ini bukan memberi rasa pesimis, namun kami tetap berharap besar, industri smelter beserta industri turunannya dapat terealisasi dengan segera.
“DPC SPN Sumbawa Barat dalam hal ketenagakerjaan meminta kepada pihak terkait untuk mempekerjakan 90 persen tenaga kerja lokal. karena mengingat jumlah TPAK yang tinggi dan Pencari Kerja Terbuka (TPT) yang masih didominasi lulusan SMA/SMK dapat teratasi,” demikian Benny.

SN 9 dikutip dari LensaNTB.com/Editor