Gambar Ilustrasi

Status darurat sipil menjadi batas maksimal pemerintah dalam kebijakan pembatasan sosial berskala besar dalam penanganan covid – 19

(SPN News) Jakarta, penetapan Status Darurat Sipil merupakan salah satu kondisi yang digunakan dalam Undang-Undang No 23/1959 Tentang Keadaan Bahaya. Dalam UU tersebut terdapat tiga kategori darurat, yakni Darurat Sipil, Darurat Militer. dan Darurat Perang. Pengaktifan darurat sipil akan memberikan kewenangan pemerintah untuk memberlakukan rezim hukum baru yang berbeda dengan hukum pada kondisi normal. Ketika darurat sipil diaktifkan, Presiden dapat membuat keputusan – keputusan yang dibutuhkan dengan segera meski harus mengenyampingkan hukum yang ada. Dan hanya Presiden yang dapat mengaktifkan status darurat.

Penetapan status darurat salah satu jalan konstitusional yang juga diakui oleh hukum internasional. Pada pasal 4 paragraf 1 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyatakan, sebuah negara diperkenankan mengenyampingkan hukum pada saat darurat jika ada ancaman terhadap kehidupan dan eksistensi bangsa. Dan kondisi darurat Corona ini sudah dapat dijadikan alasan untuk mengaktifkan status darurat itu. Namun pemerintah harus melaksanakan darurat sipil secara proporsional.

Baca juga:  NILAI KEBUTUHAN HIDUP LAYAK DI JAKARTA TAHUN 2018

Adapun pembatasan sosial berskala besar diketahui tidak sama dengan karantina wilayah atau istilah populernya lockdown. Hal tersebut secara eksplisit termaktub dalam UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 10 UU No 6/2018 menyebutkan bahwa karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Sementara itu, pasal 11 menyatakan bahwa pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Perbedaan antara dua aturan tersebut adalah karantina wilayah secara tegas mengamanatkan pembatasan di pintu masuk, bahkan penutupan. Sementara itu, pembatasan sosial berskala besar tidak mengamanatkan adanya pembatasan di pintu masuk atau penutupan akses dari dan ke suatu wilayah. Pembatasan sosial hanya mengamanatkan pembatasan kegiatan penduduk. Teknis dua upaya merespons kondisi darurat ini pun diatur dengan cara berbeda. Teknis karantina wilayah diatur dalam pasal 53 hingga pasal 55. Teknis yang diatur oleh UU terkait karantina wilayah, misalnya, wilayah yang dikarantina diberi garis karantina. Tidak hanya itu, wilayah tersebut harus dijaga terus-menerus oleh pejabat karantina kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina (pasal 54 ayat 2). Pengaturan karantina lainnya adalah anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar-masuk wilayah karantina (pasal 54 ayat 3). Selain itu, pemerintah bertanggung jawab atas kebutuhan hidup orang banyak, termasuk makanan hewan ternak, selama karantina wilayah (pasal 55 ayat 1 dan 2). Sementara itu, teknis pembatasan sosial berskala besar diatur dalam pasal 59. Misalnya, pasal 59 ayat 3 mengamanatkan pembatasan yang meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Baca juga:  PERINGATAN HARI K3 DI KABUPATEN SEMARANG

SN 09/Editor