Untuk meningkatkan upah di DI Yogyakarta yang masuk dalam upah terendah di pulau Jawa maka Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) mengusulkan untuk menetapkan UMSP

(SPN News) Yogyakarta, (30/10/2018) juru bicara Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) Irsad Ade Irawan mengusulkan formula upah minimum sektoral provinsi (UMSP) sebagai solusi upah layak buruh. UMSP mengacu pada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No 7/2013 tentang Upah Minimum.

Pasal 89 ayat (1) huruf b UU 13/2003 mengatur tentang upah minimum berdasarkan sektor. Dikenal sebagai upah sektoral maupun upah kelompok usaha. Sedangkan pasal 1 Permenakertrans No 7/2013 menjelaskan arti sektoral. Adalah kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia (KLBI). Sedangkan pasal 11 ayat (1) menyebutkan, UMSP dan/atau upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) ditetapkan oleh gubernur atas kesepakatan organisasi perusahaan dengan serikat buruh di sektor yang bersangkutan.

Sedangkan pasal 11 ayat (3) menggariskan, UMSP tidak boleh lebih rendah dari UMP. Dan UMSK tidak boleh lebih rendah dari UMK. “Bisa dilakukan bertahap. Upah minimum dulu, lalu UMK. Selanjutnya upah minimum sektoral,” katanya.

Baca juga:  PT HINGS SUBUR TERAPKAN KERJA BERGILIR DAN UPAH DIBAYAR PENUH

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIJ Buntoro punya pandangan lain. Menurutnya, pemerintah perlu mempertahankan PP 78/2015. Demi menjaga daya saing dan kelangsungan perusahaan. Buntoro mengklaim, UMP atau UMK yang dihasilkan berdasarkan rumus kenaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional masih relevan diterapkan tahun ini. Untuk mengakomodasi kenaikan biaya hidup buruh. Hanya, Buntoro mengesampingkan faktor perumahan (papan) untuk buruh. Menurutnya itu belum perlu. Alasannya, mayoritas buruh DIJ merupakan penduduk asli. Sehingga biaya perumahan belum menjadi perkara penting. “Berbeda dengan daerah lain yang pekerjanya merupakan pendatang,” dalihnya.

Kendati demikian, Buntoro sepakat penerapan upah minimum sektoral. Karena tiap sektor memiliki struktur biaya berlainan. Dia juga mengusulkan variabel skala usaha. Kebijakan ini untuk mewadahi berkembangnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut Buntoro, UMKM memerlukan mekanisme pengupahan tersendiri.

“Biaya tenaga kerja di UMKM merupakan komponen yang menentukan. Setidaknya 15 persen dari struktur pembiayaan,” jelas pendiri PT Mega Andalan Kalasan (MAK) itu.

Baca juga:  CAPASITY BUILDING PSP SPN PT GOLDEN FOOTWEAR INDOTAMA (NEW ERA GROUP)

Sementara itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIJ Andung Prihadi Santoso mengingatkan, Sesuai Permenaker Nomor 1 Tahun 2017 perusahaan harus menerapkan Struktur Upah Skala Upah (SUSU). Hal ini disampaikannya saat beraudiensi dengan perwakilan ABY Senin (22/10) lalu. Berdasarkan SUSU tiap buruh harus mendapatkan hak yang berbeda jika telah bekerja lebih dari satu tahun. Lampiran SUSU menjadi syarat pendaftaran peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama (PKB) yang diajukan sebuah perusahaan. Andung mengaku lembaganya terus berusaha memperkuat sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan ketenagakerjaan. Agar ke depan setiap perusahaan bisa melaksanakan hak norma pekerjanya secara baik.

Sementara seperti yang diberitakan sebelumnya pengurus DPD SPN Provinsi DI Yogyakarta Junet Mustopa mengatakan bahwa “PP No 78/2015 harus dicabut dan upah di DIY harus dinaikkan secara signifikan karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan rill buruh di DIY”

Shanto dari berbagai sumber/Editor