Efek digitalisasi menjadi salah satu faktor yang harus diwaspadai oleh pemerintah karena disinyalir akan menimbulkan PHK besar-besaran
(SPN News) Jakarta, ada lima permasalahan ketenagakerjaan di tahun 2018 yang merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah. Kelima persoalan tadi harus tuntas pada 2019. Kelima permasalahan tersebut adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat digitalisasi atau otomatisasi, informalisasi tenaga kerja, jaminan sosial (BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan), masih tingginya kecelakaan dan keselamatan kerja (K3), dan masalah outsourcing. Demikian catatan Labor Institute Indonesia atau Institut Pengembangan Kebijakan Alternatif Perburuhan yang disampaikan Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga, Selasa (1/1/2019)
PHK akibat digitalisasi atau omotomatisasi, masif terjadi di tahun 2018 sebagai akibat pergerakan ekonomi digital. Sektor-sektor seperti retail, perbankan, transportasi, dan manufaktur khususnya otomotif, teksil, dan elektronik adalah sektor yang rentan mengalami pemutusan hubungan kerja dikarenakan digitalisasi dan otomatisasi.
“Kami mencatat lebih kurang 100 ribu pekerja kehilangan pekerjaannya di tahun 2018 ini dikarenakan digitalisasi disektor tersebut,” ujar Andy William.
Labor Institute Indonesia memprediksi di tahun 2019, PHK di sektor-sektor tersebut akan semakin masif terjadi, dan pemerintah perlu mengantisipasi hal tersebut dengan membuat blue print strategi penciptaan lapangan kerja di era digitalisasi. Sebagai akibat terjadinya PHK tersebut, menimbulkan tumbuhnya informalisasi tenaga kerja dengan akan semakin menjamurnya pekerja kaki lima (PKL) atau pekerja mandiri. Dampak negatifnya akan menimbulkan kesemrautan penataan kota-kota besar, sehingga berpotensi timbulnya permasalahan sosial. Kondisi tersebut dapat dilihat dengan semakin masifnya PKL di Kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan. Lebih kurang 1 juta yang tumbuh di tahun 2018.
Seiring dengan masifnya PHK akan menimbulkan permasalahan penarikan dana Jaminan Hari Tua (JHT) secara di BPJS Ketenagakerjaan, selain itu sistem pendataan di BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan akan mengalami kekeacauan dikarenakan migrasi kepesertaan dari BPJS Ketenagakerjaan ke BPJS Kesehatan yang semakin tinggi yang dikhawatirkan ketidaksiapan perangkat dan sumber daya di kedua BPJS tersebut dalam melakukan adjustment.
“Belum lagi permasalahan pelayanan BPJS Kesehatan yang sampai saat ini belum berjalan dengan maksimal dan permasalahan defist yang menghantui BPJS Kesehatan,” ujar Andy William.
Kemudian permasalahan K3 yang masih cukup tinggi terjadi di tahun 2018 juga akan terjadi di tahun 2019 dikarenakan, perhatiaan perusahaan terhadap K3 ini masih rendah, dikarenakan sistem manajemen K3 (SMK3) perusahaan tidak berjalan dengan baik, dan masih banyak perusahaan yang tidak memiliki SMK3.
“Selain itu audit K3 dan Pengawasan K3 berdasarkan PP 50/2012 tentang Sistem Manajemen K3, dan UU 1/1970 tentang Keselamatan Kerja, masih sangat minim dilakukan oleh pemerintah,” kata Andy William.
Kemudian outsourcing, tenaga kerja akan semakin menjamur dengan minimnya perlindungan bagi tenaga kerja outsourcing, seperti minimnya perlindungan terhadap Jaminan Sosial (BPJS), kontrak kerja yang tidak adil, dan tenaga kerja outsourcing yang dibayar di bawah upah minimum.
“Pemerintah dituntut untuk segera merancang exit strategi dari kelima permasalahan ketenagakerjaan itu. Pemerintah diharapkan dapat mengantisipasi timbulnya gejolak sosial yang semakin masif dikarenakan permasalahan ketenagakerjaan ini tidak ditangani dan diantisipasi dengan baik,” demikian Andy William.
Shanto dikutip dari berbagai sumber/Editor